13 May 2008

HUBERT BALS SUPPORT PROJECT "RUMAH DAN MUSIM HUJAN"


Ada kabar bagus saat saya berada di Jeonju Film Festival. Beberapa hari selama disana saya menempati sebuah kamar hotel yang sangat mewah tapi tanpa koneksi internet. Dan hal terbodoh yang saya lakukan adalah saat saya memutuskan untuk tidak membawa laptop. Saya pikir saya hanya pergi ke sebuah kota di sebelah Busan, seperti dari Jogja pergi ke Semarang, buat apa bawa laptop. Tapi hal itu yang menyiksa saya selama di Jeonju.

Malam terakhir saya dipindah ke sebuah kamar yang lebih kecil tapi berfasilitas komputer lengkap dengan koneksi internetnya. Dan di tengah malam saat saya kembali ke kamar, internet tersebut benar-benar membawa berita bagus. Sebuah email dari Hubert Bals Fund di International Film Festival Rotterdam. Mereka mengabarkan bahwa mereka telah memutuskan untuk mensupport project Rumah dan Musim Hujan dengan judul versi bahasa Inggris One Day When The Rain Falls.

The Hubert Bals Fund is designed to bring remarkable or urgent feature films and feature-length creative documentaries by innovative and talented filmmakers from developing countries closer to completion. The HBF provides grants that often turn out to play a crucial role in enabling these filmmakers to realize their projects.


Although the Fund looks closely at the financial aspects of a project, the decisive factors remain its content and artistic value. Since the Fund started in 1988, close to 600 projects from independent filmmakers in Asia, the Middle East, Eastern Europe, Africa and Latin America have received support. Approximately 80% of these projects have been realised or are currently in production. Every year, the IFFR screens completed films supported by the Fund.

Begitulah yang tertulis di website mereka.

Hal yang membuat lebih menyenangkan adalah pagi harinya. Saya agak terlambat untuk sarapan di restaurant hotel. Sarapan adalah salah satu waktu yang tepat untuk bertemu dengan tamu festival yang lain. Di sebuah meja sudah ada John Torres (Filipina), Israel dan Laura Cardenas (pasangan sutradara suami-istri dari Meksiko), Mathias (Argentina). Saya yang duduk sambil senyum-senyum langsung ditanya oleh Israel, "Kenapa senyum-senyum?". Saya hanya bilang, "Maaf kalo kamu akan lihat saya senyum-seyum seharian ini, saya dapet Hubert Bals!". Mereka mereka langsung teriak "Haaah!! Israel dan Laura juga dapet!! di email semalam.." Semua yang ada di meja itu langsung tertawa ngakak. Dan hal yang lebih menyenangkan lagi, malamnya saat Closing Ceremony, film John Torres berikutnya juga mendapatkan support funding juga dari program "Work in Progress" di Jeonju, film Mathias juga mendapatkan film terbaik di sesi kompetisi international. Ternyata meja yang digunakan untuk sarapan di pagi hari itu penuh dengan kemenangan. Dan sangat menyenangkan untuk berbagi kebahagiaan bersama.

10 May 2008

CATATAN JEONJU INT'L FILM FESTIVAL 2008

Jeonju sangat menyenangkan, festival maupun kotanya. Ada suasana Jogja disana, atau mungkin saya yang terlalu ingin menciptakan suasana Jogja disana. Bertemu teman-teman lama dan berkenalan dengan teman-teman baru. Film dan makanan, mungkin dua kata itu yang paling tepat untuk menggambarkan Jeonju selama berada disana kemaren. Ditambah saya berhasil mendapatkan tiket untuk melihat "Night & Day", film terbaru dari sutradara Korea yang saya kagumi, Hong Sang Soo.

Dua kali Setengah Sendok Teh di putar di Megabox Cinema Street. Berikut petikan dialog saya dan penonton di dua sesi Q&A selama Jeonju International Film Festival 2008.

Penonton 1 (P1) : Saya melihat warna kostum yang digunakan pemain semakin lama semakin berwarna, mengikuti emosi film. Apakah itu sengaja di desain sebelumnya?


Ifa (I) : Pada awalnya memang saya mendesain warna dan karakter setiap baju yang dikenakan pemain di film ini. Warna dan karakter baju selalu mengikuti emosi setiap karakter. Tapi di proses editing saya mengubah cerita film ini dan setiap scene menjadi berlompat-lompatan. Jadi saya pikir desain baju di draft akhir film yang baru saja kita lihat ini sudah tidak berfungsi lagi.

P1 : Apa yang kamu maksud dengan tidak berfungsi lagi?

I : Menurut saya, unsur yang paling penting dalam sebuah film adalah cerita. Jadi saat saya sadar bahwa sesuatu yang tidak bagus terjadi di film saya, satu hal terpenting yang harus diselamatkan adalah cerita. Karena alasan itu saya mengorbankan desain kostum yang sudah saya buat agar cerita yang ada di film saya tetap mengalir dengan baik. Tentu saja kostum tetap berfungsi, tapi tidak berfungsi seperti yang saya rencanakan sebelumnya.

P2 : Kenapa warna yang digunakan di film ini cenderung merah, apakah juga untuk mencerminkan emosi cerita dan karakter?

I : Itu akibatnya, akibatnya warna merah di film ini bisa mewakili emosi cerita dan karakter, tapi bukan sebab. Ada beberapa sebab, saya memutuskan untuk menggunakan warna merah sebagai warna dominan setelah saya menemukan lokasi. Saya pikir warna merah adalah warna yang paling tepat untuk menunjukkan karakter kota saya, karena lokasi yang saya pilih di kota saya berwarna itu, bioskop, bis kota dll. Tapi mungkin sebab yang justru paling realistis adalah karena alasan tekhnis. Di kota tempat saya membuat film ini tidak tersedia peralatan yang bisa saya gunakan untuk membuat karakter cahaya daylight, hampir semua peralatan lampu yang tersedia adalah tungsten.

P3 : Jika dilanjutkan lagi, akan seperti apa hubungan setiap karakter di film ini?

I : Saya tidak pernah tahu akan seperti apa. Mungkin ending di film ini seperti hidup kita hari ini, sekarang pun saya tidak tahu apa yang akan terjadi nanti dan besok. Tapi saya suka dengan komentar salah seorang teman setelah menonton film saya beberapa waktu yang lalu, menurut dia tokoh suami yang ada di film ini akhirnya mati, karena saya meletakkan shot ruang tamu yang kosong di akhir film.

P3 : Kenapa kamu menggunakan shot yang panjang dan lama, dan dialog yang diulang-ulang?

I : Di film ini saya ingin membuat film yang membosankan, tapi penonton tetap bertahan sampai film selesai. Saya pikir kebosanan identik dengan sesuatu yang lama dan berulang-ulang, karena itu lah saya selalu membuat setiap dialog di film ini menjadi repetitif. Kata "aku cinta kamu" yang sebenarnya manis dan romantis pun terbukti menjadi sangat membosankan jika di ulang-ulang.

P4 : Adakah sutradara lain yang menginspirasi sebelum kamu buat film ini?

I : Setelah naskah dari film ini selesai dibuat, saya menonton salah satu film Tsai Ming Liang. Kemudian saya ingin melakukan seperti apa yang ia lakukan dengan alasan yang sederhana. Sepertinya sangat enak membuat film seperti apa yang ia buat : hanya meletakkan kamera, duduk, teriak "action!", tidur, kemudian bangun dan teriak "cut!". Shotnya dia begitu panjang. Tapi setelah saya mencoba, ternyata sama sekali tidak mudah. Justru sangat susah untuk menjaga aliran cerita dan emosi dengan shot yang panjang dan diam.

P5 : Kenapa Half Teaspoon?

I : Sebenernya bukan Half Teaspoon, original title untuk film ini adalah Setengah Sendok Teh. Hanya saja saat di bahasa inggriskan menjadi Half Teaspoon. Dua kata itu memang mempunyai arti sama, tapi mempunyai kesan atau bahkan emosi yang sama sekali berbeda. Awalnya hanya karena saya suka kata itu, Setengah Sendok Teh. Tapi akhirnya saya putuskan untuk menjadi judul karena Half Teaspoon merepresentasikan karakter utama di film ini. Half berarti tidak kosong dan tidak penuh. Abu-abu, ragu-ragu dan seperti hanya karena tidak bisa mengambil keputusan iya atau tidak, hitam atau putih, kosong atau penuh. Itulah karakter utama di film ini.

P6 : Kenapa kopi?

I : Saya suka kopi, semua orang sebenernya tahu bahwa rasa kopi itu pahit. Tapi banyak yang suka. Buat saya seperti itulah hidup.

P6 : Di filmmu ada dialog "aku benci hari selasa", ada apa dengan hari selasa?

I : Bisa kita skip pertanyaan ini?

(Moderator menjawab bisa)


P7 : Sampai kapan kamu mau membuat film yang berat dan gelap?
(Moderator (M) yang sudah melihat film saya sebelumnya membantu untuk menjawab)

M : Kebetulan saya sudah melihat film-film Ifa sebelumnya. Justru menurut saya Ifa baru saja mulai membuat film yang berat.

I : Benar, ini film pertama yang saya ceritakan dengan berat. Tapi kalo mau dilihat dengan sederhana, film ini sebenarnya sangat sangat sangat ringan. Hanya kisah cinta segitiga biasa. Sebelumnya saya selalu mengambil tema yang berat dan saya ceritakan dengan sederhana. Film saya sebelumnya tentang gempa bumi di kota saya yang menewaskan lebih dari 6000 orang, itu hal sayang sangat berat, tapi saya ceritakan dengan ringan. Di film ini saya mencoba sebaliknya, cerita dan tema yang sangat ringan tapi saya ceritakan dengan berat. Saya baru mulai, belum saatnya ditanya kapan harus berakhir.

P1 : Bagaimana komentar kamu tentang film Indonesia yang lain di sesi ini, "Hullahoop Soundings"?

I : Edwin adalah salah satu filmmaker yang dekat dengan saya. Saya bukan hanya temannya, tapi saya juga salah satu dari fans Edwin. Kamu bisa tahu, sangat susah untuk tidak menyukai sebuah film yang dibuat oleh sutradara yang kita idolakan, walaupun Hullahoop Soundings bukan film terbaik Edwin. Maksud saya fiilm ini belum bisa mewakili Edwin seperti yang saya kenal, untuk lebih mengenal Edwin kamu harus melihat film-filmnya yang lain. Mungkin karena ini film remake.

P7 : Bisa kasih tahu apa yang sekarang sedang kamu kerjakan atau yang akan kamu kerjakan sebagai pembuat film?

I : Tahun ini saya harus menyelesaikan program saya di Pusan, kemudian tahun depan saya baru bisa membuat film panjang saya yang pertama.