Pagi ini sudah dua jam aku menunggunya. Dan selama dua jam itu, sudah enam kali ia mengirim pesan pendek dan dua kali menelpon. Di depanku juga sudah cangkir kopi ketiga, yang aku tidak tahu sudah berapa mobil yang melewati jalan di sebelah kananku. Tadinya aku masih berusaha menghitung mobil itu karena pagi ini memang lebih sepi dari hari kemaren. Tapi dia datang terlalu lama, aku malas menghitung lagi.
Handphoneku berdering, mungkin ini telpon darinya yang ketiga. Benar, dia. Aku mengangkatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata, mungkin ia hanya mendengar desahan nafas kesalku.
“Maaf, aku terlambat..”
Dia membuka percakapan dengan kalimatnya yang sangat bodoh, sungguh kalimat yang sangat tidak tepat diucapkan oleh orang yang sudah dua tahun sekolah di luar negeri.
“Eh..maksudku..aku tetap datang..aku tetap datang..tunggu aku!”
“Please..jangan pulang..kamu sendiri bilang kan kamu datang kesini karena aku..”
Aku tetap tidak mengeluarkan sepatah kata untuk menunjukkan seperti apa perasaanku menunggunya. Dan dia tahu itu, lalu menutup teleponnya. Setelah telepon itu, mungkin aku masih duduk di tempat yang sama selama dua jam dan dia belum juga datang, juga tidak ada telepon maupun pesan pendek lagi darinya. Aku pergi.
Sekarang, aku sudah tidak bisa lagi menunggunya. Di hari yang sama saat aku meninggalkannya, dia juga meninggalkanku; untuk selamanya. Sebuah mobil berwarna merah mengakhiri hidupnya.
No comments:
Post a Comment