Tulisan ini adalah cuplikan artikel dari rumah film tentang opening film festival film pendek konfiden 2007, ditulis oleh redaktur rumah film, Hikmat Darmawan. Artikel selengkapnya dapat di baca di rumahfilm.org.
Lebih manis, bahkan gombal, adalah karya Eddie Cahyono, Jalan Sepanjang Kenangan. Ketika beberapa kali sisipan dua tokoh utama film ini, Slamet dan Susi, berbicara kepada kamera di atas becak, mengungkapkan pikiran mereka seiring perkembangan cerita, Arief Ash Shiddiq (redaktur Visual Art) nyeletuk pada saya: “Wah, Harry Met Sally banget, ya.” Ini pujian. Sekaligus sebuah gambaran yang tepat, apa aspirasi film berdurasi 30 menit ini. Tak lain, film ini ingin menjadi komedi romantik ala Yogya.
Eddie terhitung sutradara muda yang sudah matang di film pendek. Ia adalah bagian dari komunitas Fourcolors Film, yang kini termasuk papan atas dalam ranah film pendek kita saat ini. Ciri mereka: perhatian penuh pada capaian teknis cerita, mau pun teknis pengambilan gambar dan fotografi. Seperti mereka ungkapkan pada beberapa forum diskusi, mereka ingin membuat film yang “enak ditonton”. Capaian teknis yang jadi obsesi mereka itu dikerahkan untuk mencapai ideal sebuah film yang “enak ditonton” tersebut.
Jalan Sepanjang Kenangan tersaji sebagai komedi romantik yang asyik. Sejak adegan pembukaan, yang sebetulnya “adegan ranjang”, suasana sudah kocak. Barangkali tampang si Slamet yang ndeso tapi juga dead pan (lempang), barangkali kekenesan Susi yang berlebihan tapi terasa tulus, dialog sederhana yang jitu terasa sampai dengan tepat, menohok syaraf lucu di benak penonton. Slamet diperankan oleh Adi Marsono (yang juga menyanyikan lagu-lagu keroncong-dangdut yang jadi soundtrack film ini; Susi diperankan Kotty Kityakara. Dari scene awal, terasa sudah, kedua pemeran ini tepat belaka casting mereka, dan ada kimia yang baik di antara mereka. Mereka hanya agak tak meyakinkan di adegan mengharukan pada akhir cerita.
Begitulah, cerita bergulir. Slamet yang dulu tukang becak dan kini PNS (Pegawai Negeri Sipil), seharian harus memenuhi kerewelan Susi yang selalu memakai alasan sedang ngidam. Ini jelas Indonesiawi sekali –karena ngidam itu tak ada dalam literatur ilmiah, tapi hanya ada dalam ilmu rumah tangga Nusantara. Susi ngidam berjalan-jalan keliling Yogya (dan membuka peluang film ini jadi film resmi Pemda Yogya yang menarik sekali) dan harus naik becak yang dikayuh Slamet dengan pakaian PNS-nya. Seharian, Slamet harus ngopeni (mengurusi) kerewelan Susi.
Dari premis sederhana ini, berkembang sebuah upaya merenungi, dengan humor, pasang dan surut hubungan suami-istri. Dari pertanyaan awal yang rupanya tak akan hilang sampai bertahun-tahun pernikahan, “mengapa dia memilih saya?” (“Mengapa Susi memilih saya daripada si superviser es teler di mal itu?”); atau, “apakah dia membohongiku? Mengapa?”; sampai pertanyaan genting, “mengapa dia kini berubah?” dan “apakah kita sanggup bertahan?”
Dipandang dari kacamata feminisme atau kepekaan gender, film ini tampak terlalu doyong pada sudut pandang lelaki. Bisa jadi, bias gender, apa boleh buat, belum dapat diatasi sungguh-sungguh dalam kebanyakan film kita. Jalan Sepanjang Kenangan masih memandang perempuan sebagai pihak yang harus di-emong, di-among, dihadapi dengan sabar karena merepotkan. Apalagi, toh, itu semua demi si jabang bayi. Perempuan adalah istri yang diasuh, dan adalah ibu yang harus dimuliakan.
Tapi ini sekadar komedi-romantik. Tanpa hendak mengabaikan masalah bias gender itu, saya pikir kita tak bisa melupakan bahwa memang poin film ini tak lain dari hendak mengajak tertawa. Eddie tampak telah menguasai berbagai siasat naratif dan siap untuk tujuan itu. Sisipan monolog, pembabakan cerita jadi empat bagian dengan judul-judul menggelitik, latar nyanyian yang memberi aksen kelucuan, dialog-dialog yang bernas, lokal, dan sesekali sketsa sosial yang aktual.
Dalam sebuah adegan, Slamet ragu masuk ke mal yang dulunya jadi tempat pacaran mereka. Lalu, shot Slamet dan Susi duduk di becak yang menghadap mal itu, bengong karena seperti kata Slamet, “wah, kalau diperhatikan, mal ini ternyata besar sekali, ya.” Sebagaimana seharusnya sebuah komedi-romantik, sketsa itu tiba-tiba membelok pada pertengkaran domestik tentang superviser es teler dan, akhirnya, apa makna mereka menikah.
Tak pelak, ini film hiburan. Seperti juga Trophy Buffalo yang manis itu. Dan itulah mengapa saya merasa ada sesuatu yang patut disayangkan: tak ada satu pun produser film hiburan ternama yang datang ke acara ini. Kedua film ini mestinya berada dalam sphere film hiburan mainstream (arus utama). Keragaman tema yang sesungguhnya bisa sangat menarik, siasat naratif aneka rupa yang masih bisa digali terus, hingga penggarapan teknis dalam skenario, pengadeganan, dan seni pemeranan seperti yang ditampakkan oleh Trophy Buffalo dan Jalan Sepanjang Kenangan, bisa memberi variasi menyegarkan buat film arus utama kita. Pembuat film pendek macam Vanni dan Eddie perlu diberi peluang untuk melanjutkan fase kreatif mereka di aras film panjang arus utama, sebelum mereka membusuk dalam dunia film pendek.
Note : Selamat untuk "Jalan Sepanjang Kenangan" yang berhasil mendapatkan award "Film Pendek Fiksi Terbaik Festival FIlm Konfiden 2007", Viva Eddie Cahyono!!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
om eddie,...
selamat ya,...
kapan dvd nya dikirim ke depok,...
:)
Post a Comment