31 December 2007
"CHEN GUANG" PERTAMA 2008 DI BUSAN
Chen Guang (Morning Light) pertama tahun 2008 di Busan. Chen Guang adalah nama salah satu character di film Huan Chen Guang (Happines Morning Light) yang dimainkan oleh Wei Lu. Foto di ambil pagi ini di Pantai Gwanganli oleh Luan Nan, yang juga bermain sebagai Huan, dan dikirim ke email saya beberapa saat sebelum mereka pulang ke Beijing. Selamat jalan Luan Nan dan Wei Lu, terima kasih untuk bermain dengan baik di Happines Morning Light.
29 December 2007
CATATAN PRODUKSI #03
Sebenarnya banyak sekali kesamaan produksi film di Pusan dengan di Jogja. Banyak juga habluminallah dan habluminanas saat shoting yang menjadikan jadi lebih punya energi. Shoting yang pengennya cuaca cerah juga di kasih kabut tebal dan hujan sepanjang hari, pemilik ataupun orang-orang di sekitar lokasi shoting juga masih rewel-rewel seperti biasa. Saat shoting pasti juga selalu lu pa untuk sekedar motret-motret untuk dokumentasi walaupun kamera digital selalu menempel di pinggang. Tapi paling nggak ini ada yang sempat terekam.
Kabar lokasi yang paling sulit di dapat, Motel, akhirnya menemui titik cerah beberapa jam sebelum shoting. Si pemilik motel menelpon dan mengajak ketemuan. Ternyata bukan untuk memberi ijin, justru malah menginterogasi dan menuduh kalo produksi ini adalah produksi film BF yang memang marak di Korea. Lokasi ini memang salah satu daerah lokalisasi di Pusan. Walaupun mereka akhirnya bisa ngerti tapi harus di jelaskan dulu cerita film ini dengan detail seperti presentasi cerita ke produser, mending kalo bahasanya sama dan dong. Latihan deh siapa tahu memang bakalan punya produser orang Korea, tapi mudah-mudahan nggak kayak pemilik motel itu. Atau mudah2an dia gak menjadi produser film setelah ini.
Untuk menunggu jalan kecil menjadi sepi saja lamanya ya ampun banget. Belum lagi udara malam pas winter gini yang nggak banget untuk orang Jogja yang biasa kepanasan. Orang Korea suka sekali mabuk dan teriak-teriak di jalan, kalo matahari belum terbit mereka juga belum pulang. Di ingatkan untuk minggir aja malah mendekat ke depan lensa dan teriak-teriak.
Tidak ada masalah dengan pemain. Dengan kru ya seperti biasa, berantem dikit dan baekan lagi di akhir produksi. Hujan membuat film ini lebih asyik, aku suka lampu-lampu yang memantul di sisa air hujan di atas aspal. Apapun yang terjadi, aku selalu merasa beruntung kalo shoting. Gak tahu memang bener-bener beruntung atau karena memang nrimo, mungkin yang kedua. Di film ini tiba-tiba aja aku punya supporting actor dadakan, Rain/Bi/Jung Ji Hoon (I'm Cyborg But Thats Ok, Full House). Ternyata dia memang sangat profesional. Thanks, Bi!
Kabar lokasi yang paling sulit di dapat, Motel, akhirnya menemui titik cerah beberapa jam sebelum shoting. Si pemilik motel menelpon dan mengajak ketemuan. Ternyata bukan untuk memberi ijin, justru malah menginterogasi dan menuduh kalo produksi ini adalah produksi film BF yang memang marak di Korea. Lokasi ini memang salah satu daerah lokalisasi di Pusan. Walaupun mereka akhirnya bisa ngerti tapi harus di jelaskan dulu cerita film ini dengan detail seperti presentasi cerita ke produser, mending kalo bahasanya sama dan dong. Latihan deh siapa tahu memang bakalan punya produser orang Korea, tapi mudah-mudahan nggak kayak pemilik motel itu. Atau mudah2an dia gak menjadi produser film setelah ini.
Untuk menunggu jalan kecil menjadi sepi saja lamanya ya ampun banget. Belum lagi udara malam pas winter gini yang nggak banget untuk orang Jogja yang biasa kepanasan. Orang Korea suka sekali mabuk dan teriak-teriak di jalan, kalo matahari belum terbit mereka juga belum pulang. Di ingatkan untuk minggir aja malah mendekat ke depan lensa dan teriak-teriak.
Tidak ada masalah dengan pemain. Dengan kru ya seperti biasa, berantem dikit dan baekan lagi di akhir produksi. Hujan membuat film ini lebih asyik, aku suka lampu-lampu yang memantul di sisa air hujan di atas aspal. Apapun yang terjadi, aku selalu merasa beruntung kalo shoting. Gak tahu memang bener-bener beruntung atau karena memang nrimo, mungkin yang kedua. Di film ini tiba-tiba aja aku punya supporting actor dadakan, Rain/Bi/Jung Ji Hoon (I'm Cyborg But Thats Ok, Full House). Ternyata dia memang sangat profesional. Thanks, Bi!
25 December 2007
CATATAN PRODUKSI #02
Biarkan saya sharing sedikit tentang apa yang saya alami hari ini dan pemahaman saya tentang filmmaking sejauh ini selama saya berproses. Kalo ada yang kurang berkenan dengan pemikiran-pemikiran saya ini, marilah kita berdiskusi.
Buat saya membuat film adalah bukan urusan menulis apa saya yang ada di dalam pikiran kita, merangkai dalam sebuah cerita dan berusaha dengan segala cara merealisasikan dalam sebuah gambar dan suara. Saya setuju dengan konteks "merealisasikan" tersebut, tapi kemudian yang perlu kita bicarakan disini adalah bagaimana cara merealisasikan apa yang ada di pikiran kita, dan memilih pikiran kita yang mana yang akan kita realisasikan.
Hari ini saya belajar banyak karena shoting di sebuah tempat yang sama sekali tidak saya kenal secara fisik dan emosinya. Setelah menulis naskah hingga draft terakhir, seperti biasa saya yakin bahwa naskah tersebut pasti berubah setelah proses casting, hunting lokasi, shoting bahkan editing. Oleh karena itu setelah menulis naskah saya tidak mau berfikir tentang adegan atau bahkan merancang shot sebelum melihat lokasi, atau lebih tepatnya merasakan soul yang ada di lokasi. Beberapa teman mengajak saya berdiskusi, saya selalu diam. I don't have any idea.
Yang saya inginkan adalah datang, berfikir dan menentukan apa yang saya ingin lakukan. Karena saya butuh rangsangan untuk saya bisa merasakan dan berfikir. Tidak harus seminggu sebelumnya atau bahkan beberapa bulan sebelumnya. Bisa jadi lima menit sebelum shoting, hanya berikan saya waktu lima sampai sepuluh menit ketika sampai di lokasi. Silahkan beristirahat menunggu saya berfikir, kalo kebetulan hari itu otak dan hati saya sedang malas di ajak bekerja, paling lama 30 menit. Dan naskah biasanya berubah di proses ini, lebih sering adegan yang pasti berubah. Itulah pengertian film independen secara personal buat saya. Ketika saya bilang butuh ruangan sexy, saya percaya dengan definisi ruangan sexy versi kru saya. Saya tidak akan bilang dengan lampu yang redup, warna yang merah dan dengan tembok motif celana dalam. Tentunya sebuah cara dan pola kerja yang berbeda dengan film industri atau apalah istilahnya.
Membuat film adalah bagaimana kita bisa merasakan apa yang ada di sekitar kita dan merealisasikan serealistis dan sesolutif mungkin. Hari ini saya belajar banyak karena disini saya benar-benar tidak tahu dengan lokasi yang akan saya dapatkan baik secara visual maupun emosional. Biasanya mungkin lebih mudah untuk melanjutkan proses pekerjaan saya. Ketika kita sepakat malioboro, saya langsung bisa tahu secara visual dan feel yang ada di malioboro. Yang perlu dilakukan hanyalah lihat, rasakan, pikirkan, putuskan dan lakukan.
Darezhan Omirbayev
Saya jadi ingat dengan Darezhan Omirbayev saat menjadi mentor saya di salah satu workshop. Dengan berapi-api saya menunjukkan story board dan menjelaskan dengan broken english tentang konsep scene yang akan saya sutradarai :
"I want make compotition frame like this!! Cause what i want is the machine will be powerfull than human!! So..the picture must be green (apa hubungannya?-red)!! and i think audience of our film will be understand if human is just a human in the middle of fu*c**n' machine in Korea!!!
Dia cuma manggut-manggut dan bilang :
Maybe..
Dalam waktu yang cukup lama saya salah mengartikan kata "maybe"-nya dia itu dan terduduk lemas di kursi. Waktu itu saya hanya berfikir karena dia tidak bisa bahasa inggris dan translatornya sudah terlihat capek untuk bekerja. Tapi ternyata "maybe"-nya dia itu mempunyai makna yang dalam beberapa tahun bulan kemudian. Benar, saya dulu adalah orang yang sangat membangga-banggakan tekhnis, dan saya pikir memang semua pembuat film mengalami masa yang memang penting itu, tekhnis.
Yang dimaksud "maybe" oleh Omirbayev adalah bahwa kamu bisa saja merencanakan apa yang ada di isi kepalamu, tapi kamu tidak akan pernah tahu seperti apa yang akan terjadi nanti di lokasi. Seperti halnya ketika kamu menggambar baju untuk pemain, kamu tidak tahu apakah kamu benar-benar akan menemukan baju yang sama dengan yang kamu gambar. Maka, marilah kita jalan-jalan ke lokasi daripada duduk-duduk disini membicarakan naskah yang sebenarnya sudah selesai kemaren. Atau naeklah ke kamarmu dan bawalah semua baju yang kamu punya, dan marilah kita pilih baju yang bisa dipakai oleh pemain kita.
Lima menit setelah itu aku udah datang dengan semua bajuku yang belum dicuci dan semua sepakat memakai salah satu bajuku dan sepakat agar tidak mencucinya karena katanya bau keringatku di baju itu sangat bisa memberikan soul bau seorang tenaga kerja asing di Korea. 30 menit setelah itu kita sudah berada di pinggir pantai dan merasakan lokasi sambil berdiskusi yang lebih nyata. Dua jam kemudian aku sudah berada di dalam sebuah pabrik dan sama sekali tidak merasakan human is just a human in the middle of machine.
Tsai Ming Liang dan Istvan Szabo
Beberapa waktu kemudian saya juga berkesempatan mengikuti masterclass yang di isi oleh Tsai Ming Liang. Sutradara yang sangat saya puji-puji setelah saya menonton Goodbye Dragon Inn. Saya agak cuek dengan isi masterclassnya karena tujuan saya yang pertama adalah minta tanda tangan di ticket film terbarunya dan yang kedua adalah foto bersama. Walaupun setelah berhasil foto..eh, dia malah pas merem. Tapi tetap ada sesuatu yang saya dapat dari masterclass itu. Sebelumnya saya berfikir kalo apa yang dia pikirkan adalah sangat tekhnis dengan memutuskan meletakkan kamera dan membiarkan begitu saja. Tapi di siang itu dia hanya bilang karena memang itu yang bisa saya lakukan.
Kemudian Istvan Szabo di masterclass kedua juga melakukan penjelasan yang hampir sama dalah hal tekhnis-tekhnisan ini. Di awal kelas dia menyuruh semuanya untuk tutup mata. Dan ia hanya mengatakan "Flower!! Please imagine that!! The Flower!!" Aku sih hanya tutup mata dan masih terbingung-bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Belum ada gambaran apa-apa di kepalaku, dia sudah menyuruh membuka mata dan tepat dihadapanku seorang sutradara golongan tua tersebut sudah tersenyum sok manis dengan setangkai mawar merah di tangannya. Kemudian dia menanyai kami satu per satu bunga seperti apa yang tadi di bayangkan, dan bagaimana setelah melihat bahwa bunga yang ada dan nyata adalah sebuah mawar berwarna merah.
Wong Kar Wai
Yang lebih kaget lagi sebenarnya jawaban Wong Kar Wai ketika ditanya tentang urusan tekhnis di Chungking Express dan bagaimana cara kerjanya dengan Chris Doyle. Dia hanya bilang kalo di film itu dia sama sekali tidak pernah membicarakan tekhnis. Bahkan di film-filmnya yang lain dia juga tidak pernah membicarakan urusan teknis dengan Chris Doyle sebelumnya.
Saat di kejar lagi dengan tekhnis hand held dan jump cut di Chungking Express. Dia hanya bilang tidak pernah merencanakan tekhnis itu. Awalnya Chris Doyle bekerja seperti biasa, dengan gerakan kamera yang halus dan setting kamera yang sangat lama. Wong Kar Wai hanya bilang buang aja tripotmu dan bekerjalah seperti kameramen CNN karena aku butuh cepet. Mengingat film itu shoting di pusat keramaian dan tanpa ijin. Sedangkan menjawab tekhnis jump cut ia hanya bilang itu dia lakukan di editing karena memang banyak gambar yang bocor, banyak orang-orang yang bersliweran di pasar yang ramai itu dan melihat ke lensa kamera saat shoting, maka di potonglah bagian itu.
Maka dari itu ketika hari ini seorang teman yang bantuin di produksi mengabarkan kalo belum bisa melihat lokasi untuk motel dan menanyakan apa yang hari ini bisa dilakukan untuk shoting besok. Saya hanya bilang..tiduur aja yuuuuk..ngantuk nih, dingin lagi. Hooaaaheeeem.
Buat saya membuat film adalah bukan urusan menulis apa saya yang ada di dalam pikiran kita, merangkai dalam sebuah cerita dan berusaha dengan segala cara merealisasikan dalam sebuah gambar dan suara. Saya setuju dengan konteks "merealisasikan" tersebut, tapi kemudian yang perlu kita bicarakan disini adalah bagaimana cara merealisasikan apa yang ada di pikiran kita, dan memilih pikiran kita yang mana yang akan kita realisasikan.
Hari ini saya belajar banyak karena shoting di sebuah tempat yang sama sekali tidak saya kenal secara fisik dan emosinya. Setelah menulis naskah hingga draft terakhir, seperti biasa saya yakin bahwa naskah tersebut pasti berubah setelah proses casting, hunting lokasi, shoting bahkan editing. Oleh karena itu setelah menulis naskah saya tidak mau berfikir tentang adegan atau bahkan merancang shot sebelum melihat lokasi, atau lebih tepatnya merasakan soul yang ada di lokasi. Beberapa teman mengajak saya berdiskusi, saya selalu diam. I don't have any idea.
Yang saya inginkan adalah datang, berfikir dan menentukan apa yang saya ingin lakukan. Karena saya butuh rangsangan untuk saya bisa merasakan dan berfikir. Tidak harus seminggu sebelumnya atau bahkan beberapa bulan sebelumnya. Bisa jadi lima menit sebelum shoting, hanya berikan saya waktu lima sampai sepuluh menit ketika sampai di lokasi. Silahkan beristirahat menunggu saya berfikir, kalo kebetulan hari itu otak dan hati saya sedang malas di ajak bekerja, paling lama 30 menit. Dan naskah biasanya berubah di proses ini, lebih sering adegan yang pasti berubah. Itulah pengertian film independen secara personal buat saya. Ketika saya bilang butuh ruangan sexy, saya percaya dengan definisi ruangan sexy versi kru saya. Saya tidak akan bilang dengan lampu yang redup, warna yang merah dan dengan tembok motif celana dalam. Tentunya sebuah cara dan pola kerja yang berbeda dengan film industri atau apalah istilahnya.
Membuat film adalah bagaimana kita bisa merasakan apa yang ada di sekitar kita dan merealisasikan serealistis dan sesolutif mungkin. Hari ini saya belajar banyak karena disini saya benar-benar tidak tahu dengan lokasi yang akan saya dapatkan baik secara visual maupun emosional. Biasanya mungkin lebih mudah untuk melanjutkan proses pekerjaan saya. Ketika kita sepakat malioboro, saya langsung bisa tahu secara visual dan feel yang ada di malioboro. Yang perlu dilakukan hanyalah lihat, rasakan, pikirkan, putuskan dan lakukan.
Darezhan Omirbayev
Saya jadi ingat dengan Darezhan Omirbayev saat menjadi mentor saya di salah satu workshop. Dengan berapi-api saya menunjukkan story board dan menjelaskan dengan broken english tentang konsep scene yang akan saya sutradarai :
"I want make compotition frame like this!! Cause what i want is the machine will be powerfull than human!! So..the picture must be green (apa hubungannya?-red)!! and i think audience of our film will be understand if human is just a human in the middle of fu*c**n' machine in Korea!!!
Dia cuma manggut-manggut dan bilang :
Maybe..
Dalam waktu yang cukup lama saya salah mengartikan kata "maybe"-nya dia itu dan terduduk lemas di kursi. Waktu itu saya hanya berfikir karena dia tidak bisa bahasa inggris dan translatornya sudah terlihat capek untuk bekerja. Tapi ternyata "maybe"-nya dia itu mempunyai makna yang dalam beberapa tahun bulan kemudian. Benar, saya dulu adalah orang yang sangat membangga-banggakan tekhnis, dan saya pikir memang semua pembuat film mengalami masa yang memang penting itu, tekhnis.
Yang dimaksud "maybe" oleh Omirbayev adalah bahwa kamu bisa saja merencanakan apa yang ada di isi kepalamu, tapi kamu tidak akan pernah tahu seperti apa yang akan terjadi nanti di lokasi. Seperti halnya ketika kamu menggambar baju untuk pemain, kamu tidak tahu apakah kamu benar-benar akan menemukan baju yang sama dengan yang kamu gambar. Maka, marilah kita jalan-jalan ke lokasi daripada duduk-duduk disini membicarakan naskah yang sebenarnya sudah selesai kemaren. Atau naeklah ke kamarmu dan bawalah semua baju yang kamu punya, dan marilah kita pilih baju yang bisa dipakai oleh pemain kita.
Lima menit setelah itu aku udah datang dengan semua bajuku yang belum dicuci dan semua sepakat memakai salah satu bajuku dan sepakat agar tidak mencucinya karena katanya bau keringatku di baju itu sangat bisa memberikan soul bau seorang tenaga kerja asing di Korea. 30 menit setelah itu kita sudah berada di pinggir pantai dan merasakan lokasi sambil berdiskusi yang lebih nyata. Dua jam kemudian aku sudah berada di dalam sebuah pabrik dan sama sekali tidak merasakan human is just a human in the middle of machine.
Tsai Ming Liang dan Istvan Szabo
Beberapa waktu kemudian saya juga berkesempatan mengikuti masterclass yang di isi oleh Tsai Ming Liang. Sutradara yang sangat saya puji-puji setelah saya menonton Goodbye Dragon Inn. Saya agak cuek dengan isi masterclassnya karena tujuan saya yang pertama adalah minta tanda tangan di ticket film terbarunya dan yang kedua adalah foto bersama. Walaupun setelah berhasil foto..eh, dia malah pas merem. Tapi tetap ada sesuatu yang saya dapat dari masterclass itu. Sebelumnya saya berfikir kalo apa yang dia pikirkan adalah sangat tekhnis dengan memutuskan meletakkan kamera dan membiarkan begitu saja. Tapi di siang itu dia hanya bilang karena memang itu yang bisa saya lakukan.
Kemudian Istvan Szabo di masterclass kedua juga melakukan penjelasan yang hampir sama dalah hal tekhnis-tekhnisan ini. Di awal kelas dia menyuruh semuanya untuk tutup mata. Dan ia hanya mengatakan "Flower!! Please imagine that!! The Flower!!" Aku sih hanya tutup mata dan masih terbingung-bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Belum ada gambaran apa-apa di kepalaku, dia sudah menyuruh membuka mata dan tepat dihadapanku seorang sutradara golongan tua tersebut sudah tersenyum sok manis dengan setangkai mawar merah di tangannya. Kemudian dia menanyai kami satu per satu bunga seperti apa yang tadi di bayangkan, dan bagaimana setelah melihat bahwa bunga yang ada dan nyata adalah sebuah mawar berwarna merah.
Wong Kar Wai
Yang lebih kaget lagi sebenarnya jawaban Wong Kar Wai ketika ditanya tentang urusan tekhnis di Chungking Express dan bagaimana cara kerjanya dengan Chris Doyle. Dia hanya bilang kalo di film itu dia sama sekali tidak pernah membicarakan tekhnis. Bahkan di film-filmnya yang lain dia juga tidak pernah membicarakan urusan teknis dengan Chris Doyle sebelumnya.
Saat di kejar lagi dengan tekhnis hand held dan jump cut di Chungking Express. Dia hanya bilang tidak pernah merencanakan tekhnis itu. Awalnya Chris Doyle bekerja seperti biasa, dengan gerakan kamera yang halus dan setting kamera yang sangat lama. Wong Kar Wai hanya bilang buang aja tripotmu dan bekerjalah seperti kameramen CNN karena aku butuh cepet. Mengingat film itu shoting di pusat keramaian dan tanpa ijin. Sedangkan menjawab tekhnis jump cut ia hanya bilang itu dia lakukan di editing karena memang banyak gambar yang bocor, banyak orang-orang yang bersliweran di pasar yang ramai itu dan melihat ke lensa kamera saat shoting, maka di potonglah bagian itu.
Maka dari itu ketika hari ini seorang teman yang bantuin di produksi mengabarkan kalo belum bisa melihat lokasi untuk motel dan menanyakan apa yang hari ini bisa dilakukan untuk shoting besok. Saya hanya bilang..tiduur aja yuuuuk..ngantuk nih, dingin lagi. Hooaaaheeeem.
24 December 2007
CATATAN PRODUKSI #01
Akhirnya shoting juga di Korea setelah menghabiskan waktu untuk pekerjaan yang sebenernya sangat berat buat aku; duduk di depan komputer dan berkonsentrasi menulis. Hampir semuanya sudah siap mulai dari lokasi, alat sampai pemain. Naskah memang selalu tidak pernah selesai sampai film ini sendiri selesai, always and always open script just like my others day in filmmaking. Hanya tinggal menunggu dua pemain yang masih liburan ke Seoul, reading sebentar dan shoting.
Aku jadi inget Mayar, film yang aku buat dengan konsep yang sama dan masih sangat aku cintai sampai hari ini. Pada saat produksi Mayar aku bersusah payah untuk mendapatkan pinjeman handycam Digital 8 (handycam canggih waktu itu), disini aku juga bersusah payah untuk bagaimana aku bisa shoting hanya dengan handycam, karena alat yang tersedia melimpah ruah mulai dari HDV sampai kamera film.
Jelas pra produksi kali ini sangat berbeda. Aku jadi tambah kangen sama temen-temen fourcolours. Rasanya beda biasanya memimpin sebuah rapat pra produksi dengan bahasa jawa include pisuhan dan sekarang dengan bahasa yang nggak jelas, inggris pada nggak ngerti korea aku yang grotal-gratul, sedangkan filmnya pake bahasa china (pisuhan gak ada masalah, udah lancar). Yang membuat lebih complicated karena disini semua bahasa-bahasa standart produksi dan nama alat sebagian besar sudah diubah dengan bahasa Korea. Tapi bukan itu yang paling penting, karena aku masih merasa punya soul and passion yang sama dengan mereka di produksi ini.
Huan Chen Guang, this is film about journey of two chinese girls in search for happiness. Then what is happiness? How to find happiness? Where to find happiness? What is the meaning of happiness?
Aku jadi inget Mayar, film yang aku buat dengan konsep yang sama dan masih sangat aku cintai sampai hari ini. Pada saat produksi Mayar aku bersusah payah untuk mendapatkan pinjeman handycam Digital 8 (handycam canggih waktu itu), disini aku juga bersusah payah untuk bagaimana aku bisa shoting hanya dengan handycam, karena alat yang tersedia melimpah ruah mulai dari HDV sampai kamera film.
Jelas pra produksi kali ini sangat berbeda. Aku jadi tambah kangen sama temen-temen fourcolours. Rasanya beda biasanya memimpin sebuah rapat pra produksi dengan bahasa jawa include pisuhan dan sekarang dengan bahasa yang nggak jelas, inggris pada nggak ngerti korea aku yang grotal-gratul, sedangkan filmnya pake bahasa china (pisuhan gak ada masalah, udah lancar). Yang membuat lebih complicated karena disini semua bahasa-bahasa standart produksi dan nama alat sebagian besar sudah diubah dengan bahasa Korea. Tapi bukan itu yang paling penting, karena aku masih merasa punya soul and passion yang sama dengan mereka di produksi ini.
Huan Chen Guang, this is film about journey of two chinese girls in search for happiness. Then what is happiness? How to find happiness? Where to find happiness? What is the meaning of happiness?
18 December 2007
KURBAN DI BUSAN
Suasana Idul Adha di Masjid Al-Fatah Busan jauh berbeda dengan Idul Fitri beberapa bulan yang lalu. Imam dan Khotibnya masih sama. Hanya saja jumlah jamaahnya jauh lebih sedikit, mungkin hanya sepersepuluhnya dan didominasi oleh orang-orang luar Indonesia, mungkin dari Turki, Uzbekistan dan daerah-daerah sekitar Kazakhstan.
Aku juga baru tahu malam sebelumnya kalo ternyata pelaksanaan sholat Ied lebih dulu sehari dari Indonesia, kalo saja tidak ngecek info di milist tadi malam sebelum tidur, pasti sudah datang ke masjid tanggal 20 Desember.
Sholat dimulai seperti biasa, pukul 10.00 waktu Busan. Dan kebetulan pelaksanaan kali ini bareng dengan pelaksanaan pemilihan presiden Korea Selatan. Dan kebetulan juga sekolah yang satu halaman dengan masjid juga digunakan untuk pemilu, jadi serasa banyak orang Korea juga yang ikut ke masjid. Jalan-jalan dan subway lebih sepi dari pagi biasanya, karena memang hari libur nasional untuk pemilu.
Setelah sholat selesai, dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban. Ini yang aku agak penasaran, apa yang akan di sembelih. Ternyata disini ada kambing juga, baru pertama kali ini aku lihat wedhus di Korea. Dan kagetnya lagi dia itu bener-bener wedhus jowo, aku inget sekali muka dan baunya. Idul Adha kali ini Al-Fatah menyembelih 1 ekor kambing.
Aku mendekat sekedar untuk mencium bau prengusnya biar dapet soul idul adha-nya. Kambing itu diam tidak mengeluarkan suara apapun, padahal aku tunggu-tunggu dia akan mengembik pakai cara Jawa atau Korea.
Aku juga baru tahu malam sebelumnya kalo ternyata pelaksanaan sholat Ied lebih dulu sehari dari Indonesia, kalo saja tidak ngecek info di milist tadi malam sebelum tidur, pasti sudah datang ke masjid tanggal 20 Desember.
Sholat dimulai seperti biasa, pukul 10.00 waktu Busan. Dan kebetulan pelaksanaan kali ini bareng dengan pelaksanaan pemilihan presiden Korea Selatan. Dan kebetulan juga sekolah yang satu halaman dengan masjid juga digunakan untuk pemilu, jadi serasa banyak orang Korea juga yang ikut ke masjid. Jalan-jalan dan subway lebih sepi dari pagi biasanya, karena memang hari libur nasional untuk pemilu.
Setelah sholat selesai, dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban. Ini yang aku agak penasaran, apa yang akan di sembelih. Ternyata disini ada kambing juga, baru pertama kali ini aku lihat wedhus di Korea. Dan kagetnya lagi dia itu bener-bener wedhus jowo, aku inget sekali muka dan baunya. Idul Adha kali ini Al-Fatah menyembelih 1 ekor kambing.
Aku mendekat sekedar untuk mencium bau prengusnya biar dapet soul idul adha-nya. Kambing itu diam tidak mengeluarkan suara apapun, padahal aku tunggu-tunggu dia akan mengembik pakai cara Jawa atau Korea.
16 December 2007
MELAWAN NTSC
Sepertinya perjuangan melawan NTSC akan terus berlangsung selama tinggal di Busan. Setelah bulan lalu sukses aku kalahkan untuk membuat sebuah project, minggu ini giliran aku di hajar habis sama NTSC sialan itu.
Minggu lalu ada screening film tugas di kampus. Rangkain acaranya adalah pemutaran film-film tugas selama semester ini, pemilihan ketua perhimpunan mahasiswa tahun ini, perkenalan sekaligus pemutaran dua filmku dan di tutup dengan makan-makan. Dari kamar sudah berangkat dengan perasaan senang walaupun juga tidak dengan senyum-senyum dan sambil loncat-loncat.
Sampai di kampus, ruang screening yang mewah untuk ukuran sekolah film itu sudah dipenuhi hampir semua mahasiswa fakultas film dari semua angkatan. Film demi film sudah di putar, pemilihan ketua perhimpunan mahasiswa fakultas film pun selesai. Giliran pemutaran Harap Tenang, Ada Ujian! dan Setengah Sendok Teh setelah aku maju ke depan untuk perkenalan sekaligus kulonuwun ke mereka semua karena mulai semester depan aku akan lebih sering nginjak-injak kampus. Semuanya juga sudah tidak sabar ingin menyaksikan seperti apa sih film orang Indonesia ini.
Gila, NTSC kembali menang. PAL benar-benar tidak mampu berbuat banyak di player DVD maupun DV ruang screening itu. Salah satu orang lari ke studio karena aku dulu pernah bisa memutar DV tape PAL di salah satu ruang. Ternyata semua alat juga sedang dipakai di acara sebelah, pemutaran karya anak jurusan Broadcasting. PAL benar-benar tidak berkutik hari itu. Kalopun ada pemutaran lagi untuk mengalahkan NTSC, masih di bulan Maret saat pemutaran film ujian. Kali ini aku mengaku kalah, aku masih di hajar habis oleh NTSC. Tapi tidak ada kata lain, Lawan!!!
Minggu lalu ada screening film tugas di kampus. Rangkain acaranya adalah pemutaran film-film tugas selama semester ini, pemilihan ketua perhimpunan mahasiswa tahun ini, perkenalan sekaligus pemutaran dua filmku dan di tutup dengan makan-makan. Dari kamar sudah berangkat dengan perasaan senang walaupun juga tidak dengan senyum-senyum dan sambil loncat-loncat.
Sampai di kampus, ruang screening yang mewah untuk ukuran sekolah film itu sudah dipenuhi hampir semua mahasiswa fakultas film dari semua angkatan. Film demi film sudah di putar, pemilihan ketua perhimpunan mahasiswa fakultas film pun selesai. Giliran pemutaran Harap Tenang, Ada Ujian! dan Setengah Sendok Teh setelah aku maju ke depan untuk perkenalan sekaligus kulonuwun ke mereka semua karena mulai semester depan aku akan lebih sering nginjak-injak kampus. Semuanya juga sudah tidak sabar ingin menyaksikan seperti apa sih film orang Indonesia ini.
Gila, NTSC kembali menang. PAL benar-benar tidak mampu berbuat banyak di player DVD maupun DV ruang screening itu. Salah satu orang lari ke studio karena aku dulu pernah bisa memutar DV tape PAL di salah satu ruang. Ternyata semua alat juga sedang dipakai di acara sebelah, pemutaran karya anak jurusan Broadcasting. PAL benar-benar tidak berkutik hari itu. Kalopun ada pemutaran lagi untuk mengalahkan NTSC, masih di bulan Maret saat pemutaran film ujian. Kali ini aku mengaku kalah, aku masih di hajar habis oleh NTSC. Tapi tidak ada kata lain, Lawan!!!
03 December 2007
CERITA NOMOR 519
Subscribe to:
Posts (Atom)