Liburan musim dingin benar-benar sangat lama. Setelah stock rasa kesepian saya sudah habis beberapa bulan yang lalu, sekarang giliran stock rasa bosan saya yang habis. Benar-benar sudah tidak bisa lagi merasakan bagaimana rasa bosan itu. Akhirnya (waktu) Korea benar-benar berhasil saya bunuh dengan sebuah kegiatan yang mempesona : menulis buku.
Ya, saya menulis sebuah buku dengan judul yang sangat dahsyat : JADILAH SUTRADARA FILM : SEBUAH PANDUAN UNTUK GENERASI PENERUS PERFILMAN INDONESIA. Hahahahaha…Sebuah judul yang sangat sombong!!! Saya suka!! Alhamdulillah, akhirnya saya sombong. Mudah-mudahan kalo sudah cetak nanti bisa selesai dibaca sambil cengar cengir oleh para generasi penerus perfilman Indonesia yang sekarang mungkin masih SMP/SMA.
Tak kasih bocorannya :
SEBELUM MEMBUAT FILM
Jangan terburu-buru membuat film. Yang terpenting adalah kamu tahu dan sadar bahwa kamu ingin menjadi seorang sutradara. Memang benar untuk bisa disebut sutradara adalah kita harus membuat film. Tapi film hanyalah media dan pilihan untuk menyampaikan apa yang kamu tahu dan ada di kepalamu, jadi kalo kamu tidak tahu apa-apa filmmu juga nanti tidak akan berarti apa-apa. Yang harus kamu lakukan pertama kali adalah bahwa kamu harus yakin suatu saat nanti kamu akan menjadi seorang sutradara besar. Mulai sekarang, apa yang kamu lakukan adalah perjalanan hidupmu untuk meraih impianmu itu. Semakin kontroversial, kisah perjalanan hidupmu menuju sutradara semakin menarik. Kamu harus sadari itu. Sabar dulu, jangan terburu-buru membuat film. Karena film pertama itu sangat penting untuk orang menjadi tahu siapa dirimu. Sekarang beraktifitaslah seperti biasa, hanya saja dalam sebuah kesadaran bahwa suatu saat nanti kamu akan menjadi seorang sutradara.
Kamu bisa buktikan ini. Carilah tahu siapa Steven Spielberg dulu pada waktu remaja, siapa Jean-Luc Godard pada saat SMP. Siapa Garin Nugroho pada waktu masih hidup di Jogja. Tidak ada yang langsung membuat film. Garin Nugroho saat di Jogja adalah………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………….........
...................................................................................................................................................................
Langkah ke-13 : Nonton Film Jelek
Jangan anggap remeh langkah ini. Paksa mata dan hatimu untuk menonton film jelek hingga selesai, ini sangat penting. Mintalah referensi film jelek kepada temanmu. Atau mintalah reverensi film bagus kepada temanmu yang selera filmnya berbeda dengan kamu. Saya tidak akan menyarankan kamu untuk menonton film bagus, karena kamu pasti sudah melakukan tanpa saya sarankan. Tapi sekali lagi saya mohon, tontonlah film jelek. Saya tidak perlu kasih referensi disini, banyak sekali film jelek di Indonesia dan manfaatkanlah itu menjadi sebuah kelebihan. Dan yang paling penting adalah paksa dirimu menonton hingga film itu selesai.
Dalam menonton jadikanlah dirimu benar-benar sebagai penonton. Bukan kritikus atau bahkan pembuat film. Harus menonton dan dengan iklas menerima apa yang ada film itu. Jangan biarkan otakmu ataupun mulutmu mengejek film itu atau bahkan menjelek-jelekkan film itu kepada orang lain. Tapi terimalah film itu dengan iklas setelah selesai menonton, jangan ucapkan sepatah katapun. Ini pekerjaan susah, ini tantangan. Kalopun kamu liat sebuah film horor yang setannya pake celana jeans, kamu harus diam. Kalopun kamu liat film tentang anak SMP tapi aktornya kumisan, kamu harus diam. Jangan ketawa!!! Ketawa itu artinya mengejek di permainan ini, kamu kalah kalo tertawa. Begitu seterusnya. Dan kalopun kamu ketahuan temanmu bahwa kamu menonton film yang masya Allah jelek itu, jangan malu. Cukup senyum saja bila di tanya. Ingat, ini latihan, jangan menjelek-jelekkan film orang lain walaupun setelah itu kamu muntah di kamarmu. Kalopun kamu benar-benar tidak bisa diam dan ingin mengeluarkan sesuatu yang ada di pikiranmu setelah menonton, maka catatlah. Kamu masih punya catatan kecil di sakumu. Yang perlu kamu lakukan adalah ingat baik-baik nama sutradara film itu. Sesuatu yang harus kamu pelajari dari kasus ini adalah bahwa suatu saat nanti kamu sangat mungkin membuat sebuah film yang jelek. Padahal kamu sudah berusaha sebaik mungkin tapi filmmu tetep saja jelek, ini sangat mungkin terjadi. Segeralah tebus kesalahanmu itu dengan membuat film bagus. Kalopun kamu akhirnya menjadi seorang sutradara yang membuat film setan bercelana jeans itu, paling tidak kamu tidak menjelek-jelekkan film orang lain. Ini penting.
Langkah ke-14 : Olah Raga
Nah, kamu butuh olah raga. Paling tidak setelah kamu meluangkan waktu untuk menonton TVRI di langkah ke-12 dan dengan sukses menonton film jelek di langkah ke-13, pasti kamu mengalami kondisi stress yang berlebih. Maka berolah ragalah agar pikiranmu tenang. Bisa jadi kamu mengalami kondisi kejiwaan yang parah setelah menonton dua hal tersebut dan mengalami emosi yang sangat luar biasa, ingin membanting TV, ingin menjungkir balikkan tempat tidur sampai ingin melempari kaca kantor PH yang memproduksi film tersebut. Percayalah, dengan berolah raga akan mengalihkan semua energi emosimu. Kamu akan merasa segar kembali untuk melaksanakan aktifitas yang lain berhubungan menyiapkan fisik dan mentalmu untuk menjadi seorang sutradara besar.
Pilihlah olah raga yang kamu suka. Mulai dari bermain basket, sepak bola sampai lari-lari kecil di halaman depan. Tapi saya sarankan untuk berlatih berenang, jangan takut air. Jangan sampai kamu yang tidak bisa berenang dan takut melihat air suatu saat nanti ingin membuat film dengan judul Air Merah. Jangan sampai itu terjadi dengan kamu, kamu harus dekat dengan space yang ada di filmmu. Belajarlah berenang jika kamu besok suatu saat punya keinginan membuat film tentang air, ini investasi. Banyak sekali sutradara yang tidak bisa bermain bola tapi membuat film tentang sepak bola atau tidak pernah naik kereta api tapi suka dengan setting kereta api yang katanya alat transportasi paling romatis. Kamu harus menjadi sutradara yang dekat dan paham betul dengan sesuatu yang kamu kerjakan.
Kalo kamu tipe orang yang alergi olah raga, maka jangan lakukan dulu langkah ke-12 dan 13, berbahaya..
………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………….......................................................................................
Langkah ke-24 : Kenali Agamamu
Mungkin terdengar aneh dan tiba-tiba menjadi sok moralis dan religius. Tapi ini benar dan tidak salah cetak, kenalilah agamamu! Bagaimanapun agama itu penting. Paling tidak kamu harus tahu seperti apa agamamu itu mengatur hidupmu. Apa yang dilarang oleh agamamu, apa yang dianjurkan oleh agamamu. Yang islam pergilah ke masjid, yang katolik atau kristen pergilah ke gereja, demikian juga agama yang lain. Minimal kamu tahu dasar-dasar ajaran agamamu. Kalopun ada sesuatu yang kamu tidak setuju tentang apa yang diajarkan di dalam agamamu, tanyakan ke yang lebih tahu. Cobalah baca kitabmu, cari tahu apa yang ada disana.
Selain itu, kamu juga boleh untuk mencoba mengerti apa yang diajarkan agama lain, bahkan kamu sangat boleh untuka membandingkan. Cobalah temui temanmu yang mengerti agama lain. Ajaklah berdiskusi. Jangan berdebat dan kemudian saling membenci agama masing-masing. Agama adalah masalah sensitif, tapi jadikanlah ini menjadi ringan. Bicarakan agama dengan temanmu seperti kamu membicarakan masalahmu dengan pacarmu. Dan sadari betul bahwa ini kamu lakukan bukan untuk menjadi ahli agama, tapi untuk menjadi seorang sutradara. Kalo kamu temukan sesuatu yang menarik di agamamu atau agama orang lain, catat. Kamu masih mempunyai catatan kecil rahasia kita kan di sakumu?
Kalo kebetulan kamu orang yang tidak percaya dengan agama dan memutuskan untuk tidak memiliki agama, itu tidak masalah. Yang harus kamu lakukan adalah temukan alasan kenapa kamu menjauhi agama. Argumenmu harus lebih kuat daripada apa yang ada di agama itu sendiri. Kamu adalah calon sutradara, calon pemimpin. Apa yang kamu lakukan bisa jadi dilakukan oleh orang lain. Makanya kamu harus selalu punya alasan yang orang lain bisa mengerti.
Langkah ke-25 : Nongkrong di Lokalisasi
Sekarang kamu boleh jalan-jalan ataupun sekedar duduk di daerah yang tidak moralis, carilah lokalisasi terdekat di kotamu. Kamu kan sudah belajar tentang agama sebelumnya, jadi langkah ini aman untuk dijalani. Saya sarankan untuk lebih aman lagi, jangan bawa uang. Di lokalisasi ini semuanya sangat filmis. Kamu harus bisa tangkap itu. Bagaimana dialog-dialog antara pedagang dan konsumen sangat menarik, atau bahkan sekedar cara mereka menawarkan dagangan. Bersikaplah seperti orang biasa, jangan tegang dan jangan mencatat di tempat itu juga. Kamu harus gunakan daya ingatmu dengan baik di sini. Kalo kamu temukan yang menarik, kamu catat setelah kamu keluar dari daerah itu.
Kemungkinan terburuk adalah kamu bertemu dengan tetanggamu. Dan saya kembali menyarankan, jawablah dengan jawaban seperti yang teman-teman di usiamu lakukan, seperti “sedang penelitian” atau “lagi jadi volunter sebuah LSM”. Jangan karena saking paniknya kamu jawab “lagi refreshing” seperti yang saya lakukan dulu. Itu bisa menyebabkan salah paham yang berkepanjangan. Atau juga jangan kamu jawab dengan jujur “saya kan mau jadi sutradara, jadi harus ke lokalisasi”, itu juga terdengar aneh. Kamu harus sadar bahwa calon profesimu itu beda dengan profesi-profesi yang lain. Jadi masih terdengar aneh jika ada orang mau jadi sutradara. Selain karena langkah ini juga bukan langkah wajib, ini langkah pilihan, tapi penting.
Yang perlu kamu lakukan adalah berada di tempat itu, merasakan dan melihat apa yang sebenarnya terjadi disana. Bagaimana mereka menjalani pekerjaan mereka. Lebih baik lagi kalo kamu bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Sebelum ini mungkin kamu merasa bahwa lokalisasi adalah sebuah tempat yang penuh dengan dosa dan hal-hal negatif lainnya. Tapi kamu akan menjadi tahu bahwa disana penuh juga dengan kesedihan, keputusasaan, penyesalan, rasa takut dan keterpaksaan di balik kedipan mata mereka.
………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………........................................................................................................
JALAN-JALAN DENGAN FILMMU
Langkah berikutnya adalah langkah yang paling asyik dan menyenangkan, tour with your film. Intinya adalah sebuah film harus di tonton. Jadi mulailah jalan-jalan dengan filmmu. Kemanapun kamu pergi, pastikan di dalam tas membawa DVD filmu. Kalo ada kesempatan bertemu dengan orang yang layak untuk kamu beri, berikanlah. Tapi pakailah strategi. Kamu harus dikenal sebagai sutradara, bukan sales DVD. Jadi tetaplah punya harga diri sebagai seorang seutradara, tidak asal ketemu dan langsung memberi film seperti seorang mahasiswa sekolah film pada umumnya. Ingat, sutradara bukan mahasiswa sekolah film.
Festival
Festival adalah cara yang paling tepat. Di acara inilah pestanya para orang film. Cari tahulah festival-festival yang penting untuk perjalanan karirmu. Baik di dalam negeri ataupun luar negeri. Jika di ibaratkan bahwa sebuah festival adalah perjalanan karirmu sebagai seorang pembuat film, maka jangan mulailah dari atas. Hindari dulu festival-festival kelas A. Carilah dulu festival yang paling dekat dengan lingkunganmu. Kalo memang di tingkat RT rumahmu ada festival film, daftarkan filmu. Pokoknya mulailah dari yang paling bawah. Daftarkan filmmu ke festival film yang ada di Indonesia. Manfaatkanlah internet, carilah dari situ.
Banyak pembuat film yang mengikutkan filmnya ke sebuah festival untuk mencari kemenangan, kamu jangan lakukan ini. Ikutkanlah sebuah festival film agar filmmu di tonton orang dan di apresiasi di sebuah tempat yang tepat. Kemenangan? Itu bonus, bukan tujuan. Jika filmmu berhasil diputar di sebuah festival maka hadiri festival itu dengan senjatamu : DVD yang ada di tasmu. Siapa tahu di festival itu kamu akan bertemu orang yang kamu anggap harus melihat filmmu. Minimal tulislah nama judul film dan alamat email di DVD filmmu. Kalo memang dirasa perlu buatlah kartunama dan cantumkan pekerjaanmu : filmmaker.
Dibawah ini saya catat beberapa sebab kenapa pembuat film tidak mengirimkan filmnya ke festival :
1. Tidak tahu informasi mengenai festival film.
Filmmaker yang mempunyai alasan seperti ini termasuk dalam kategori susah untuk di tolong karena termasuk seorang filmmaker yang malas. Informasi tentang festival film jelas tersebar luas di internet. Salah satu cara selain mencari sendiri di internet adalah dengan cara ikut milis yang berhubungan dengan film seperti dunia film, indomovie, konfiden, indonesian filmmaker dsb. Di milis itu banyak informasi tentang sebuah festival film. Atau bisa bisa masuk : filmfestivalworld.com. Bisa juga menjadi member shortfilmdepot.com atau reelport.com. Di beberapa website itu banyak sekali informasi tentang festival film.
2. Terlalu banyak informasi sehingga tidak tahu festival mana yang akan diikuti.
Ini alasan yang sangat logis. Banyak sekali festival film di dunia ini. Tapi paling tidak bisa dimulai dari yang paling dekat. Di Indonesia ada festival film pendek yang diselenggarakan oleh Konfiden (Komunitas Film Independen), daftarkan filmmu dan hadiri festival itu. Kalo kamu berasal dari luar Jakarta dan kebetulan punya uang cukup, naiklah kereta ekonomi. Ingat perjalananmu akan semakin menarik menjadi biografi jika nanti kamu menjadi seorang sutradara besar. Selain itu banyak juga festival yang lain seperti Mafvie Fest di Malang, Jember Film Festival, Festival Film Dokumenter di Jogja, Ok Video, Hello Fest dan banyak lagi. Ingat, jangan mengikutkan sebuah film di festival untuk mencari kemenangan.
Setelah kamu puas filmmu jalan-jalan di dalam negeri, cari tahulah festival-festival yang ada di luar negeri. Jangan dulu festival kelas A seperti Berlin, Venice ataupun Cannes. Mulailah dari yang paling dekat seperti Singapore Int’l Film Festival atau Cinemanila Film Festival. Setelah itu kamu bisa mencoba ke festival seperti Pusan Int’l Film Festival, International Film Festival Rotterdam, Short-Short Film Festival di Tokyo, Clermont-Ferrand Short Film Festival, Hamburg Int’l Short Film Festival atau Oberhousen Short Film Festival. Kalo sudah berhasil diputar di beberapa festival seperti ini, biasanya filmmu akan jalan-jalan dengan sendirinya. Kamu hanya tinggal membuka email untuk mengecek programmer-programmer yang meminta filmmu.
3. Mahal
Iya, memang mahal untuk mengirim DVD preview copy dari Indonesia ke sebuah festival di luar negeri. Beberapa solusi yang saya lakukan adalah : Titip. Biasanya dari Indonesia pasti ada yang berangkat ke sebuah festival penting di luar negeri. Carilah informasi itu dan titipkan film kamu. Kalo kamu ingin menjadi seorang penitip yang tidak bertanggung jawab ya titiplah begitu saja. Tapi kalo kamu ingin menjadi penitip yang sedikit bertanggung jawab, bukalah website festival yang akan di datangi orang yang kamu titipi itu. Carilah guest list yang ada di website itu dan catatlah nama dan hotel tempat menginap tamu tersebut. Setelah itu kamu bisa siapkan amplop-amplop berisi filmmu yang sudah tertata rapi berdasarkan hotel tempat tamu itu menginap. Atau berikanlah filmmu dan percayakan bahwa filmmu akan diberikan kepada programmer yang hadir di festival itu. Cara yang lain adalah dengan mengajak teman untuk mendaftarkan ke sebuah festival yang sama. Semakin banyak teman yang bisa kamu ajak, maka biaya pengiriman akan jauh lebih murah.
4. Mutung
Apa sih bahasa Indonesianya? Tapi mutung adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan sebab ini. Ini adalah sebab psikologis seseorang tidak mengirimkan filmnya ke sebuah festival. Biasanya filmmaker yang seperti ini mendaftarkan filmnya di sebuah festival untuk mencari kemenangan. Di saat filmnya ternyata tidak menang ia menjadi mutung untuk mengikutkan filmnya ke sebuah festival film yang lain. Bahakan parahnya lagi filmmaker seperti ini biasanya terus memusuhi sebuah festival film. Hanya doa dan bujukan pacar yang bisa menyelesaikan masalah ini.
Ada yang penting juga, carilah festival yang bisa memberi tiket jika filmmu berhasil diputar seperti : Short-Short Film Festival di Jepang, Almaty Int’l Film Festival di Kazakhstan, Hongkong Independent Film-Video Award dan masih banyak lagi. Begitu kamu ada kesempatan ke luar negeri, bawalah senjatamu : DVD, kartunama dan broken englishmu. Jadilah Sutradara!
Bersahabat dengan Programer
Profesi ini mungkin belum di kenal di negara kita. Tapi seorang programmer adalah jabatan yang sangat penting dalam sebuah festival. Dia lah yang akan memilih film-film yang akan diputar di festivalnya. Kalo kamu merasa bahwa festival ada;ah jenjang karirmu, maka bersahabatlah dengan programmer. Jangan ada niatan untuk mendekati programmer karena agar filmmu diputar, tidak sama sekali. Tapi bersahabatlah seperti kamu bersahabat dengan temanmu yang lain. Berperilakulah seperti biasa. Pastikan dia memiliki filmu dan menonton, dan bersikaplah seperti layaknya seorang teman kerja atau teman main, jangan ada tendensi apa-apa.
Karena semakin kamu mengenal………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………
Demikianlah cuplikan (3%) dari buku “sombong” yang saya tulis untuk membunuh (waktu) Korea. Kabar buruknya adalah saya tidak tahu kapan buku ini akan terbit. Saya juga tidak tahu apakah ada penerbit yang tertarik. Dan saya juga tidak tahu kapan saya punya uang untuk menerbitkan buku ini sendiri. Yah..maklum, orang sombong yang masih pemula. Sombong tapi gak ada modal. Mungkin saya akan lebih belajar lagi untuk lebih menjadi sombong yang bertanggung jawab, maksudnya sombong yang dibarengi dengan kekuatan modal. Amin.
26 February 2008
20 February 2008
시네마테크의 친구들 모였네
시네마테크의 친구들 영화제가 1월8일 오후 7시30분 서울아트시네마에서 개막했다. 올해로 3회째를 맞은 이번 영화제는 개막작 버스터 키튼의 무성영화 <셜록 주니어>를 시작으로 마쓰모토 도시오의 <수라>, 장 비고의 <라탈랑트>, 에미르 쿠스투리차의 <집시의 시간> 등 총 30편의 영화를 상영한다. 영화배우 권해효의 사회로 진행된 개막식에선 영화진흥위원회 안정숙 위원장, ‘시네마테크의 친구들’의 대표인 박찬욱 감독이 축사를 했고 이두용, 배창호, 이명세, 김종관, 진원석, 이재용 감독도 참석해 자리를 빛냈다. 사진은 개막식 뒤 리셉션 자리에서 대화를 나누고 있는 인도네시아의 이파 감독, 김종관 감독, 이재용 감독(가운데 왼쪽부터).
Taken from CINE21 FIlm Magazine.
19 February 2008
ASIAN PREMIERE SETENGAH SENDOK TEH
Setengah Sendok Teh Asian Premiere di Hongkong Independent Film Video Award 2008, 22 Maret 2008 pukul 4.30 pm, kategori Asian New Force Competition.
Dari awal niat untuk ikut festival ini memang hanya karena tahu kalo 10 finalist akan dibiayai untuk berangkat ke Hongkong. Akhirnya Setengah Sendok Teh berhasil masuk (akhirnya) 11 finalist dari 600 judul film yang masuk.
Ayo Setengah Sendok Teh, berjuanglah lagi!! Kali ini kamu tak temani..nggak menang nggak papa, yang penting kita jalan-jalan ke Hongkong :)
Dari awal niat untuk ikut festival ini memang hanya karena tahu kalo 10 finalist akan dibiayai untuk berangkat ke Hongkong. Akhirnya Setengah Sendok Teh berhasil masuk (akhirnya) 11 finalist dari 600 judul film yang masuk.
Ayo Setengah Sendok Teh, berjuanglah lagi!! Kali ini kamu tak temani..nggak menang nggak papa, yang penting kita jalan-jalan ke Hongkong :)
18 February 2008
KULIAH LAGI
Liburan musim dingin di Korea memang terlalu lama, tiga setengah bulan. Minggu kemaren sudah selesai KRS untuk semester depan dan awal Maret sudah mulai masuk hari pertama. Akhirnya kuliah lagi juga. Aku pikir dulu setelah selesai kuliah di ISI aku nggak akan kuliah lagi karena memang nggak suka. Ternyata hari ini aku melakukan hal itu lagi, kuliah. Ngisi KRS di ISI beda 180 derajat dengan di sini. Selama 8 tahun kuliah ISI aku KRS menggunakan mesin ketik manual, disini KRS di urus dari rumah karena semuanya ada di internet. Tapi aku tetap saja datang ke kampus karena nggak dong apa arti mata kuliah dalam bahasa Korea di website mereka. Akhirnya aku ngambil 15 sks semester ini. Itu pun masih di suruh nurunin lagi sama beberapa dosen karena katanya terlalu banyak dan mungkin sudah nggak perlu buat aku. Padahal aku pengen ngambil 18 sks.
Modern Film Theory
Aku ambil karena aku nggak begitu ngerti apa isi mata kuliah ini. Dan juga karena aku respect sama dosennya yang kebetulan juga salah satu programmer di Women International Film Festival. Dia juga ngajar di mata kuliah documentary yang tidak ada rencana aku ambil. Sering ngobrol setiap hari Rabu kalo pas ketemu di program Wednesday Doc di kampus. Aku pikir aku memang harus ambil salah satu mata kuliahnya dosen perempuan ini, Nam In Young.
Cinematography
Semester kemaren sempet ketemu dosennya dan aku janji untuk ambil mata kuliahnya. Kebetulan juga dosen yang baik, sering nelpon hanya untuk ngajak makan malam bareng dia dan istrinya di rumahnya yang kebetulan deket asrama. Dan juga aku sudah janji sama Kelik (DOP di beberapa filmku) untuk ambil mata kuliah ini dan cerita ke dia kalo pulang ke Jogja. Paling nggak janji dengan dua orang itu adalah alasan yang cukup kuat untuk aku ambil mata kuliah ini. Selain memang karena aku pengen tahu lebih tentang 16mm.
Producing
Mata kuliah ini harus aku ambil. Sempet mikir lama karena aku tahu dosennya hanya bisa bahasa Korea dan Prancis, nggak bisa bahasa Inggris. Akhirnya tetep aku ambil, itung-itung sekalian belajar bahasa Korea kalo memang nggak dong yang ia terangkan.
Directing
Dua kali di tolak masuk mata kuliah ini. Prof Lee pikir aku sudah nggak butuh lagi mata kuliah ini. Tapi aku ngotot dan jelasin kalo aku bener-bener butuh. Aku sama sekali belum pernah dapat apa itu directing dari sebuah kelas yang formal. Kebetulan aku juga nggak suka sama dosen mata kuliah ini, Cong Chang Lee.
Digital Film Production
Mata kuliah bikin film digital 10 menit. Aku pasti akan banyak belajar banyak di kelas ini dan bagaimana produksi dengan temen-temen disini. Walaupun mata kuliah ini yang pasti akan banyak menyita waktu, tapi sepertinya menyenangkan.
Sebenarnya masih ada lagi yang pengen banget aku ambil kayak Sound Technology, Film Grammar dan Scriptwriting. Tapi aku benar-benar belum bisa mengalahkan waktu karena jamnya barengan. Mudah-mudahan semester depan.
Fa, selamat belajar!
Modern Film Theory
Aku ambil karena aku nggak begitu ngerti apa isi mata kuliah ini. Dan juga karena aku respect sama dosennya yang kebetulan juga salah satu programmer di Women International Film Festival. Dia juga ngajar di mata kuliah documentary yang tidak ada rencana aku ambil. Sering ngobrol setiap hari Rabu kalo pas ketemu di program Wednesday Doc di kampus. Aku pikir aku memang harus ambil salah satu mata kuliahnya dosen perempuan ini, Nam In Young.
Cinematography
Semester kemaren sempet ketemu dosennya dan aku janji untuk ambil mata kuliahnya. Kebetulan juga dosen yang baik, sering nelpon hanya untuk ngajak makan malam bareng dia dan istrinya di rumahnya yang kebetulan deket asrama. Dan juga aku sudah janji sama Kelik (DOP di beberapa filmku) untuk ambil mata kuliah ini dan cerita ke dia kalo pulang ke Jogja. Paling nggak janji dengan dua orang itu adalah alasan yang cukup kuat untuk aku ambil mata kuliah ini. Selain memang karena aku pengen tahu lebih tentang 16mm.
Producing
Mata kuliah ini harus aku ambil. Sempet mikir lama karena aku tahu dosennya hanya bisa bahasa Korea dan Prancis, nggak bisa bahasa Inggris. Akhirnya tetep aku ambil, itung-itung sekalian belajar bahasa Korea kalo memang nggak dong yang ia terangkan.
Directing
Dua kali di tolak masuk mata kuliah ini. Prof Lee pikir aku sudah nggak butuh lagi mata kuliah ini. Tapi aku ngotot dan jelasin kalo aku bener-bener butuh. Aku sama sekali belum pernah dapat apa itu directing dari sebuah kelas yang formal. Kebetulan aku juga nggak suka sama dosen mata kuliah ini, Cong Chang Lee.
Digital Film Production
Mata kuliah bikin film digital 10 menit. Aku pasti akan banyak belajar banyak di kelas ini dan bagaimana produksi dengan temen-temen disini. Walaupun mata kuliah ini yang pasti akan banyak menyita waktu, tapi sepertinya menyenangkan.
Sebenarnya masih ada lagi yang pengen banget aku ambil kayak Sound Technology, Film Grammar dan Scriptwriting. Tapi aku benar-benar belum bisa mengalahkan waktu karena jamnya barengan. Mudah-mudahan semester depan.
Fa, selamat belajar!
06 February 2008
SETENGAH SENDOK TEH : CATATAN SUTRADARA
(Saya tulis dua hari setelah menyelesaikan editing Setengah Sendok Teh)
Ide awalnya saya ingin membuat film yang membosankan tapi penonton tetap bertahan duduk dan menikmati film saya sampai selesai. Saya belum juga tahu film seperti apa yang ingin saya buat, kebosanan seperti apa yang ingin saya sampaikan. Perasaan bosan memang selalu identik dengan sesuatu yang harus dihindari. Begitu merasa bosan kita langung mencari solusi agar kebosanan itu hilang. Bagaimanakah jika kebosanan itu kita hadapi atau bahkan kita nikmati, apa yang akan terjadi? dari sinilah Setengah Sendok Teh berangkat.
Beberapa bulan kemudian saya sering lebih meluangkan waktu untuk melihat pameran foto ataupun lukisan di Jogja. Saya sebenarnya sampai sekarang saya tidak begitu tahu kenapa seseorang bisa menikmati sebuah karya lukisan ataupun foto dalam waktu yang relatif lama. Karya itu adalah karya statis dan sama sekali tidak bergerak. Bagaimana cara menikmati selain hanya dengan melihat dan menyimpan visual tersebut di dalam memori kepala kita. Pertanyaan tersebut membuat saya lebih sering datang ke sebuah pameran, tidak hanya untuk melihat karya yang dipamerkan tapi untuk mengamati orang yang datang melihat pameran. Dari pengamatan saya, setiap orang hanya berdiri di depan sebuah karya foto atau lukisan selama 5-10 detik, memutari seluruh karya dan keluar. Sesekali mereka bercakap-cakap (baca : berdiskusi) dengan teman mengenai karya yang baru saja dilihat. Sampai suatu hari saya menemukan seseorang yang berdiri menikmati karya sebuah foto sampai 30 menit. Apa yang dia lihat? Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia dapat? Dan kenapa di menit ke 30 dia memutuskan untuk pergi? Saya ingin tahu jawaban dari semua pertanyaan saya itu.
Saya mencoba mengamati foto yang sama. Lima menit saya sudah bosan dan keluar. Selama lima menit tersebut kemudian saya kembali berpikir apa yang saya dapat. Banyak pengalaman visual yang saya dapatkan daripada saya hanya memandang foto tersebut selama lima detik. Saya jadi bisa tahu bahwa di sudut foto tersebut ada sebuah benda kecil berwarna merah yang saya tidak tahu itu apa, jumlah kursi di foto tersebut adalah 34 buah dan sebagainya dan sebagainya. Selain itu ada yang menurut saya lebih penting, Saya mendapatkan juga pengalaman psikologis yang berbeda dari sekedar saya melihat foto tersebut selama lima detik. Satu menit pertama saya merasakan sebuah keindahan, dua menit setelahnya saya merasa kesepian, satu menit kemudian saya merasakan kebosanan, menit terakhir saya merasakan kerinduan. Dari perasaan itu kemudian saya mendatangi lagi pameran yang sudah pernah saya datangi sebelumnya, mencoba menikmati dengan cara saya yang baru. Saya bisa bertahan hingga dua jam lebih dalam menikmati sebuah pameran dan mendapatkan pengalaman psikologis yang berbeda. Dari situlah saya menghabiskan perasaan bosan saya. Saya benar-benar ingin menjadi seseorang yang sudah tidak mempunyai stok bosan lagi sebelum saya memulai membuat Setengah Sendok Teh.
Dari situ lah Setengah Sendok Teh saya tulis. Saya ingin membuat sebuah film layaknya sebuah pameran foto ataupun lukisan. Gambar diam yang disusun menjadi sebuah film bercerita. Tujuannya hanya satu, kebosanan yang nyaman. Buat saya cerita yang ada di dalamnya bisa saya temukan nanti kapanpun. Menulis naskah film buat saya adalah sebuah perjalanan. Saya bisa saja mulai berjalan entah kemana dan tidak tahu kemana, karena saya hanya ingin berjalan. Tapi bisa saja saya menyiapkan segala sesuatunya dulu sampai benar-benar siap baru saya memulai sebuah perjalanan. Atau kadang di tengah perjalanan saya menemukan sebuah kompas ataupun peta yang membuat tujuan perjalanan kita semakin jelas mau kemana, bisa juga setelah saya terlalu lelah dengan perjalanan yang tidak tentu arah, memutuskan untuk berhenti, saya justru menemukan sebuah peta yang menunjukkan bahwa jalan yang saya tempuh ternyata salah sehingga saya harus mengulang darimana saya tadi mulai berjalan. Dan saya ibaratkan perjalanan itu tidak akan pernah selesai sampai film itu selesai.
Memulai proses Setengah Sendok Teh merupakan sebuah proses membuat film yang baru buat saya. Biasanya saya selalu mencari cerita terlebih dahulu kemudian setelah itu teknis pasti akan menyesuaikan cerita yang saya punya. Di Setengah Sendok Teh saya justru menemukan teknis yang akan saya pakai terlebih dahulu, cerita kemudian bisa menyesuaikan. Saya tidak begitu peduli dengan apakah itu benar atau salah karena apa yang saya rasakan ini benar-benar mengganggu pikiran saya sehingga harus di keluarkan.
Berbekal ingin membuat film dengan pola yang membosankan itulah kemudian saya berangkat. Kebosanan itu juga saya terapkan dalam memilih lokasi shoting maupun pemain. Pilihan-pilihan seperti lokasi bioskop, bis kota, rumah makan dan ruang tamu merupakan sebuah lokasi yang mengalami fase “hidup segan mati tak mau”. Semua pernah melewati masa kejayaan dan sampai sekarang masih tetap bertahan dalam kondisi yang kristis. Saya memutuskan untuk tidak begitu peduli dengan karakter, maksud saya disini adalah penonton tidak harus tahu detail tentang karakter di Setengah Sendok Teh, tidak harus tahu seperti apa wajahnya dan siapa namanya. Ini sebuah film yang lebih mengutamakan hubungan emosi antar ketiga tokoh, bukan karakter masing-masing tokoh. Karena itu saya selalu berusaha mengambil adegan dari jarak jauh.
Sangat sulit untuk menerapkan apa yang ada di kepala saya ini kepada para pemain. Semua pemain adalah orang tua para pembuat film ini. Tokoh Pria Ruang tamu adalah ayah saya, tokoh pria di dalam bus adalah ayah editor saya dan tokoh wanita penjaga bioskop adalah ibu kameramen saya. Ayah saya pada awalnya seperti tidak bisa memahami anaknya ingin membuat film yang seperti apa di Setengah Sendok Teh. Kebetulan beliau suka dengan film saya sebelumnya , Mayar dan Harap Tenang Ada ujian! Mungkin ada perasaan tidak rela anaknya membuat film serius semacam Setengah Sendok Teh. Saya hanya bilang kepada semua pemain, mainkan adegan yang ada di naskah ini selama mungkin sampai benar-benar merasa bosan. Kalo memang sudah tidak mampu lagi menahan kebosanan itu, silahkan tunjuk jari. Dalam satu scene yang pendek permainan bisa berlangsung selama 10-15 menit.
Shoting tidak ada masalah yang berarti karena semuanya sudah kita sepakati pada saat latihan. Kebosanan-kebosanan yang ditemukan pada saat latihan sudah diubah menjadi adegan yang nyaman. Hanya beberapa kru teknis yang sedikit terlihat kaget dan bertanya-tanya film seperti apakah yang sedang saya buat. Hampir semua kru sudah sangat terbiasa bekerja dengan saya yang tidak pernah membuat sesuatu yang aneh dimata mereka. Saya menambahkan adegan menyanyi di scene kamar hotel yang sekarang justru menjadi scene favorit saya di film ini. Saya selalu berusaha membuat adegan menyanyi di semua film saya mulai dari saya membuat Air Mata Surga, film pertama saya. Biasanya lagu yang dinyanyikan saya temukan di lokasi shoting. Dan juga televisi, saya suka bentuk dan suara televisi. Buat saya televisi adalah sebuah penemuan yang masih saya kagumi sampai detik ini. Saya menghormati itu dengan selalu berusaha menampilkan figure televisi di dalam film saya.
Versi awal editing keseluruhan Setengah Sendok Teh adalah 72 menit. Saya pernah memaksakan diri menonton versi itu sekali dan memang benar-benar bosan, tapi tidak nyaman. Beberapa adegan saya potong dan adegan yang tidak diperlukan saya buang. Jadilah versi 18 menit. Di editing inilah Setengah Sendok Teh mengalami perubahan cerita yang sangat besar. Naskah draft terakhir yang dipakai untuk shoting sangat berbeda dengan hasil akhir film ini. Dua belas scene yang ada di Setengah Sendok Teh menjadi berloncat-loncatan di saat editing, tapi saya suka draft terakhir versi 18 menit ini. Saya sangat tahu kalau saya sudah mengingkari konsep cerita atau bahkan konsep kebosanan yang ingin saya buat sejak awal, tapi memang seperti itulah perjalanan. Dan saya suka.
(Catatan saya untuk film Harap Tenang, Ada Ujian! bisa dibaca disini)
Ide awalnya saya ingin membuat film yang membosankan tapi penonton tetap bertahan duduk dan menikmati film saya sampai selesai. Saya belum juga tahu film seperti apa yang ingin saya buat, kebosanan seperti apa yang ingin saya sampaikan. Perasaan bosan memang selalu identik dengan sesuatu yang harus dihindari. Begitu merasa bosan kita langung mencari solusi agar kebosanan itu hilang. Bagaimanakah jika kebosanan itu kita hadapi atau bahkan kita nikmati, apa yang akan terjadi? dari sinilah Setengah Sendok Teh berangkat.
Beberapa bulan kemudian saya sering lebih meluangkan waktu untuk melihat pameran foto ataupun lukisan di Jogja. Saya sebenarnya sampai sekarang saya tidak begitu tahu kenapa seseorang bisa menikmati sebuah karya lukisan ataupun foto dalam waktu yang relatif lama. Karya itu adalah karya statis dan sama sekali tidak bergerak. Bagaimana cara menikmati selain hanya dengan melihat dan menyimpan visual tersebut di dalam memori kepala kita. Pertanyaan tersebut membuat saya lebih sering datang ke sebuah pameran, tidak hanya untuk melihat karya yang dipamerkan tapi untuk mengamati orang yang datang melihat pameran. Dari pengamatan saya, setiap orang hanya berdiri di depan sebuah karya foto atau lukisan selama 5-10 detik, memutari seluruh karya dan keluar. Sesekali mereka bercakap-cakap (baca : berdiskusi) dengan teman mengenai karya yang baru saja dilihat. Sampai suatu hari saya menemukan seseorang yang berdiri menikmati karya sebuah foto sampai 30 menit. Apa yang dia lihat? Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia dapat? Dan kenapa di menit ke 30 dia memutuskan untuk pergi? Saya ingin tahu jawaban dari semua pertanyaan saya itu.
Saya mencoba mengamati foto yang sama. Lima menit saya sudah bosan dan keluar. Selama lima menit tersebut kemudian saya kembali berpikir apa yang saya dapat. Banyak pengalaman visual yang saya dapatkan daripada saya hanya memandang foto tersebut selama lima detik. Saya jadi bisa tahu bahwa di sudut foto tersebut ada sebuah benda kecil berwarna merah yang saya tidak tahu itu apa, jumlah kursi di foto tersebut adalah 34 buah dan sebagainya dan sebagainya. Selain itu ada yang menurut saya lebih penting, Saya mendapatkan juga pengalaman psikologis yang berbeda dari sekedar saya melihat foto tersebut selama lima detik. Satu menit pertama saya merasakan sebuah keindahan, dua menit setelahnya saya merasa kesepian, satu menit kemudian saya merasakan kebosanan, menit terakhir saya merasakan kerinduan. Dari perasaan itu kemudian saya mendatangi lagi pameran yang sudah pernah saya datangi sebelumnya, mencoba menikmati dengan cara saya yang baru. Saya bisa bertahan hingga dua jam lebih dalam menikmati sebuah pameran dan mendapatkan pengalaman psikologis yang berbeda. Dari situlah saya menghabiskan perasaan bosan saya. Saya benar-benar ingin menjadi seseorang yang sudah tidak mempunyai stok bosan lagi sebelum saya memulai membuat Setengah Sendok Teh.
Dari situ lah Setengah Sendok Teh saya tulis. Saya ingin membuat sebuah film layaknya sebuah pameran foto ataupun lukisan. Gambar diam yang disusun menjadi sebuah film bercerita. Tujuannya hanya satu, kebosanan yang nyaman. Buat saya cerita yang ada di dalamnya bisa saya temukan nanti kapanpun. Menulis naskah film buat saya adalah sebuah perjalanan. Saya bisa saja mulai berjalan entah kemana dan tidak tahu kemana, karena saya hanya ingin berjalan. Tapi bisa saja saya menyiapkan segala sesuatunya dulu sampai benar-benar siap baru saya memulai sebuah perjalanan. Atau kadang di tengah perjalanan saya menemukan sebuah kompas ataupun peta yang membuat tujuan perjalanan kita semakin jelas mau kemana, bisa juga setelah saya terlalu lelah dengan perjalanan yang tidak tentu arah, memutuskan untuk berhenti, saya justru menemukan sebuah peta yang menunjukkan bahwa jalan yang saya tempuh ternyata salah sehingga saya harus mengulang darimana saya tadi mulai berjalan. Dan saya ibaratkan perjalanan itu tidak akan pernah selesai sampai film itu selesai.
Memulai proses Setengah Sendok Teh merupakan sebuah proses membuat film yang baru buat saya. Biasanya saya selalu mencari cerita terlebih dahulu kemudian setelah itu teknis pasti akan menyesuaikan cerita yang saya punya. Di Setengah Sendok Teh saya justru menemukan teknis yang akan saya pakai terlebih dahulu, cerita kemudian bisa menyesuaikan. Saya tidak begitu peduli dengan apakah itu benar atau salah karena apa yang saya rasakan ini benar-benar mengganggu pikiran saya sehingga harus di keluarkan.
Berbekal ingin membuat film dengan pola yang membosankan itulah kemudian saya berangkat. Kebosanan itu juga saya terapkan dalam memilih lokasi shoting maupun pemain. Pilihan-pilihan seperti lokasi bioskop, bis kota, rumah makan dan ruang tamu merupakan sebuah lokasi yang mengalami fase “hidup segan mati tak mau”. Semua pernah melewati masa kejayaan dan sampai sekarang masih tetap bertahan dalam kondisi yang kristis. Saya memutuskan untuk tidak begitu peduli dengan karakter, maksud saya disini adalah penonton tidak harus tahu detail tentang karakter di Setengah Sendok Teh, tidak harus tahu seperti apa wajahnya dan siapa namanya. Ini sebuah film yang lebih mengutamakan hubungan emosi antar ketiga tokoh, bukan karakter masing-masing tokoh. Karena itu saya selalu berusaha mengambil adegan dari jarak jauh.
Sangat sulit untuk menerapkan apa yang ada di kepala saya ini kepada para pemain. Semua pemain adalah orang tua para pembuat film ini. Tokoh Pria Ruang tamu adalah ayah saya, tokoh pria di dalam bus adalah ayah editor saya dan tokoh wanita penjaga bioskop adalah ibu kameramen saya. Ayah saya pada awalnya seperti tidak bisa memahami anaknya ingin membuat film yang seperti apa di Setengah Sendok Teh. Kebetulan beliau suka dengan film saya sebelumnya , Mayar dan Harap Tenang Ada ujian! Mungkin ada perasaan tidak rela anaknya membuat film serius semacam Setengah Sendok Teh. Saya hanya bilang kepada semua pemain, mainkan adegan yang ada di naskah ini selama mungkin sampai benar-benar merasa bosan. Kalo memang sudah tidak mampu lagi menahan kebosanan itu, silahkan tunjuk jari. Dalam satu scene yang pendek permainan bisa berlangsung selama 10-15 menit.
Shoting tidak ada masalah yang berarti karena semuanya sudah kita sepakati pada saat latihan. Kebosanan-kebosanan yang ditemukan pada saat latihan sudah diubah menjadi adegan yang nyaman. Hanya beberapa kru teknis yang sedikit terlihat kaget dan bertanya-tanya film seperti apakah yang sedang saya buat. Hampir semua kru sudah sangat terbiasa bekerja dengan saya yang tidak pernah membuat sesuatu yang aneh dimata mereka. Saya menambahkan adegan menyanyi di scene kamar hotel yang sekarang justru menjadi scene favorit saya di film ini. Saya selalu berusaha membuat adegan menyanyi di semua film saya mulai dari saya membuat Air Mata Surga, film pertama saya. Biasanya lagu yang dinyanyikan saya temukan di lokasi shoting. Dan juga televisi, saya suka bentuk dan suara televisi. Buat saya televisi adalah sebuah penemuan yang masih saya kagumi sampai detik ini. Saya menghormati itu dengan selalu berusaha menampilkan figure televisi di dalam film saya.
Versi awal editing keseluruhan Setengah Sendok Teh adalah 72 menit. Saya pernah memaksakan diri menonton versi itu sekali dan memang benar-benar bosan, tapi tidak nyaman. Beberapa adegan saya potong dan adegan yang tidak diperlukan saya buang. Jadilah versi 18 menit. Di editing inilah Setengah Sendok Teh mengalami perubahan cerita yang sangat besar. Naskah draft terakhir yang dipakai untuk shoting sangat berbeda dengan hasil akhir film ini. Dua belas scene yang ada di Setengah Sendok Teh menjadi berloncat-loncatan di saat editing, tapi saya suka draft terakhir versi 18 menit ini. Saya sangat tahu kalau saya sudah mengingkari konsep cerita atau bahkan konsep kebosanan yang ingin saya buat sejak awal, tapi memang seperti itulah perjalanan. Dan saya suka.
(Catatan saya untuk film Harap Tenang, Ada Ujian! bisa dibaca disini)
Subscribe to:
Posts (Atom)