Biarkan saya sharing sedikit tentang apa yang saya alami hari ini dan pemahaman saya tentang filmmaking sejauh ini selama saya berproses. Kalo ada yang kurang berkenan dengan pemikiran-pemikiran saya ini, marilah kita berdiskusi.
Buat saya membuat film adalah bukan urusan menulis apa saya yang ada di dalam pikiran kita, merangkai dalam sebuah cerita dan berusaha dengan segala cara merealisasikan dalam sebuah gambar dan suara. Saya setuju dengan konteks "merealisasikan" tersebut, tapi kemudian yang perlu kita bicarakan disini adalah bagaimana cara merealisasikan apa yang ada di pikiran kita, dan memilih pikiran kita yang mana yang akan kita realisasikan.
Hari ini saya belajar banyak karena shoting di sebuah tempat yang sama sekali tidak saya kenal secara fisik dan emosinya. Setelah menulis naskah hingga draft terakhir, seperti biasa saya yakin bahwa naskah tersebut pasti berubah setelah proses casting, hunting lokasi, shoting bahkan editing. Oleh karena itu setelah menulis naskah saya tidak mau berfikir tentang adegan atau bahkan merancang shot sebelum melihat lokasi, atau lebih tepatnya merasakan soul yang ada di lokasi. Beberapa teman mengajak saya berdiskusi, saya selalu diam. I don't have any idea.
Yang saya inginkan adalah datang, berfikir dan menentukan apa yang saya ingin lakukan. Karena saya butuh rangsangan untuk saya bisa merasakan dan berfikir. Tidak harus seminggu sebelumnya atau bahkan beberapa bulan sebelumnya. Bisa jadi lima menit sebelum shoting, hanya berikan saya waktu lima sampai sepuluh menit ketika sampai di lokasi. Silahkan beristirahat menunggu saya berfikir, kalo kebetulan hari itu otak dan hati saya sedang malas di ajak bekerja, paling lama 30 menit. Dan naskah biasanya berubah di proses ini, lebih sering adegan yang pasti berubah. Itulah pengertian film independen secara personal buat saya. Ketika saya bilang butuh ruangan sexy, saya percaya dengan definisi ruangan sexy versi kru saya. Saya tidak akan bilang dengan lampu yang redup, warna yang merah dan dengan tembok motif celana dalam. Tentunya sebuah cara dan pola kerja yang berbeda dengan film industri atau apalah istilahnya.
Membuat film adalah bagaimana kita bisa merasakan apa yang ada di sekitar kita dan merealisasikan serealistis dan sesolutif mungkin. Hari ini saya belajar banyak karena disini saya benar-benar tidak tahu dengan lokasi yang akan saya dapatkan baik secara visual maupun emosional. Biasanya mungkin lebih mudah untuk melanjutkan proses pekerjaan saya. Ketika kita sepakat malioboro, saya langsung bisa tahu secara visual dan feel yang ada di malioboro. Yang perlu dilakukan hanyalah lihat, rasakan, pikirkan, putuskan dan lakukan.
Darezhan Omirbayev
Saya jadi ingat dengan Darezhan Omirbayev saat menjadi mentor saya di salah satu workshop. Dengan berapi-api saya menunjukkan story board dan menjelaskan dengan broken english tentang konsep scene yang akan saya sutradarai :
"I want make compotition frame like this!! Cause what i want is the machine will be powerfull than human!! So..the picture must be green (apa hubungannya?-red)!! and i think audience of our film will be understand if human is just a human in the middle of fu*c**n' machine in Korea!!!
Dia cuma manggut-manggut dan bilang :
Maybe..
Dalam waktu yang cukup lama saya salah mengartikan kata "maybe"-nya dia itu dan terduduk lemas di kursi. Waktu itu saya hanya berfikir karena dia tidak bisa bahasa inggris dan translatornya sudah terlihat capek untuk bekerja. Tapi ternyata "maybe"-nya dia itu mempunyai makna yang dalam beberapa tahun bulan kemudian. Benar, saya dulu adalah orang yang sangat membangga-banggakan tekhnis, dan saya pikir memang semua pembuat film mengalami masa yang memang penting itu, tekhnis.
Yang dimaksud "maybe" oleh Omirbayev adalah bahwa kamu bisa saja merencanakan apa yang ada di isi kepalamu, tapi kamu tidak akan pernah tahu seperti apa yang akan terjadi nanti di lokasi. Seperti halnya ketika kamu menggambar baju untuk pemain, kamu tidak tahu apakah kamu benar-benar akan menemukan baju yang sama dengan yang kamu gambar. Maka, marilah kita jalan-jalan ke lokasi daripada duduk-duduk disini membicarakan naskah yang sebenarnya sudah selesai kemaren. Atau naeklah ke kamarmu dan bawalah semua baju yang kamu punya, dan marilah kita pilih baju yang bisa dipakai oleh pemain kita.
Lima menit setelah itu aku udah datang dengan semua bajuku yang belum dicuci dan semua sepakat memakai salah satu bajuku dan sepakat agar tidak mencucinya karena katanya bau keringatku di baju itu sangat bisa memberikan soul bau seorang tenaga kerja asing di Korea. 30 menit setelah itu kita sudah berada di pinggir pantai dan merasakan lokasi sambil berdiskusi yang lebih nyata. Dua jam kemudian aku sudah berada di dalam sebuah pabrik dan sama sekali tidak merasakan human is just a human in the middle of machine.
Tsai Ming Liang dan Istvan Szabo
Beberapa waktu kemudian saya juga berkesempatan mengikuti masterclass yang di isi oleh Tsai Ming Liang. Sutradara yang sangat saya puji-puji setelah saya menonton Goodbye Dragon Inn. Saya agak cuek dengan isi masterclassnya karena tujuan saya yang pertama adalah minta tanda tangan di ticket film terbarunya dan yang kedua adalah foto bersama. Walaupun setelah berhasil foto..eh, dia malah pas merem. Tapi tetap ada sesuatu yang saya dapat dari masterclass itu. Sebelumnya saya berfikir kalo apa yang dia pikirkan adalah sangat tekhnis dengan memutuskan meletakkan kamera dan membiarkan begitu saja. Tapi di siang itu dia hanya bilang karena memang itu yang bisa saya lakukan.
Kemudian Istvan Szabo di masterclass kedua juga melakukan penjelasan yang hampir sama dalah hal tekhnis-tekhnisan ini. Di awal kelas dia menyuruh semuanya untuk tutup mata. Dan ia hanya mengatakan "Flower!! Please imagine that!! The Flower!!" Aku sih hanya tutup mata dan masih terbingung-bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Belum ada gambaran apa-apa di kepalaku, dia sudah menyuruh membuka mata dan tepat dihadapanku seorang sutradara golongan tua tersebut sudah tersenyum sok manis dengan setangkai mawar merah di tangannya. Kemudian dia menanyai kami satu per satu bunga seperti apa yang tadi di bayangkan, dan bagaimana setelah melihat bahwa bunga yang ada dan nyata adalah sebuah mawar berwarna merah.
Wong Kar Wai
Yang lebih kaget lagi sebenarnya jawaban Wong Kar Wai ketika ditanya tentang urusan tekhnis di Chungking Express dan bagaimana cara kerjanya dengan Chris Doyle. Dia hanya bilang kalo di film itu dia sama sekali tidak pernah membicarakan tekhnis. Bahkan di film-filmnya yang lain dia juga tidak pernah membicarakan urusan teknis dengan Chris Doyle sebelumnya.
Saat di kejar lagi dengan tekhnis hand held dan jump cut di Chungking Express. Dia hanya bilang tidak pernah merencanakan tekhnis itu. Awalnya Chris Doyle bekerja seperti biasa, dengan gerakan kamera yang halus dan setting kamera yang sangat lama. Wong Kar Wai hanya bilang buang aja tripotmu dan bekerjalah seperti kameramen CNN karena aku butuh cepet. Mengingat film itu shoting di pusat keramaian dan tanpa ijin. Sedangkan menjawab tekhnis jump cut ia hanya bilang itu dia lakukan di editing karena memang banyak gambar yang bocor, banyak orang-orang yang bersliweran di pasar yang ramai itu dan melihat ke lensa kamera saat shoting, maka di potonglah bagian itu.
Maka dari itu ketika hari ini seorang teman yang bantuin di produksi mengabarkan kalo belum bisa melihat lokasi untuk motel dan menanyakan apa yang hari ini bisa dilakukan untuk shoting besok. Saya hanya bilang..tiduur aja yuuuuk..ngantuk nih, dingin lagi. Hooaaaheeeem.
4 comments:
mungkin bagi temen om ifa yg ngeset survey ke motel, sudah menganggap motel itu kaya' malioboro bagi om ifa,...
udah punya feel ttg motel itu, ngapain disurvey. bagi dia, mau disurvey jg mau liat apa.
*) om, indra lesmana dulu waktu belajar main piano, awalnya jg kenalan sama kertas2 not. kalau sekarang, apa yg dia rasain ya pencet aja,.... :)
fa, gue gembiraaaa karena elo udah ga mendewakan tehnis. agak susah memang menerima begitu saja bahwa kegandrungan kita pada film itu barangkali sesederhana karena kita gandrung sama hidup. tapi, setelah beberapa kali ketemu orang-orang yang sudah malang melintang di tingkat dunia, bahkan barangkali udah 'moksa' (kayak robbie muller, atau jan harlan produsernya kubrick), kok ya intinya itulah yang mereka bilang pada kita..
best, prima
weiiss, produksi juga, keep creative Laah!, tak sabar melihat karya mu, karena yang aku tau, kmu bikin film sangat Indonesia sekali (java culture minded) nah, bagaimana dengan film satu ini? jadi teringat wong kar wai dengan The Blueberry Nights nya, yang bikin film di luar "bahasa Ibu" nya.
seperti apa nanti?
Loh? *bingung* Bukannya memang begitu? (Mereferensi pada komentar tentang harusnya datang ke suatu tempat sebelum merencanakan bagaimana menggunakan lokasi tersebut* Aku sih ngebayanginnya gitu...kalo enggak gimana kita bisa tahu gimana jatuhnya cahaya, atau menemukan seluk beluk atau detail kecil yang bisa menambag gregetnya sebuag adegan...LOL
Post a Comment