(Saya tulis dua hari setelah menyelesaikan editing Setengah Sendok Teh)
Ide awalnya saya ingin membuat film yang membosankan tapi penonton tetap bertahan duduk dan menikmati film saya sampai selesai. Saya belum juga tahu film seperti apa yang ingin saya buat, kebosanan seperti apa yang ingin saya sampaikan. Perasaan bosan memang selalu identik dengan sesuatu yang harus dihindari. Begitu merasa bosan kita langung mencari solusi agar kebosanan itu hilang. Bagaimanakah jika kebosanan itu kita hadapi atau bahkan kita nikmati, apa yang akan terjadi? dari sinilah Setengah Sendok Teh berangkat.
Beberapa bulan kemudian saya sering lebih meluangkan waktu untuk melihat pameran foto ataupun lukisan di Jogja. Saya sebenarnya sampai sekarang saya tidak begitu tahu kenapa seseorang bisa menikmati sebuah karya lukisan ataupun foto dalam waktu yang relatif lama. Karya itu adalah karya statis dan sama sekali tidak bergerak. Bagaimana cara menikmati selain hanya dengan melihat dan menyimpan visual tersebut di dalam memori kepala kita. Pertanyaan tersebut membuat saya lebih sering datang ke sebuah pameran, tidak hanya untuk melihat karya yang dipamerkan tapi untuk mengamati orang yang datang melihat pameran. Dari pengamatan saya, setiap orang hanya berdiri di depan sebuah karya foto atau lukisan selama 5-10 detik, memutari seluruh karya dan keluar. Sesekali mereka bercakap-cakap (baca : berdiskusi) dengan teman mengenai karya yang baru saja dilihat. Sampai suatu hari saya menemukan seseorang yang berdiri menikmati karya sebuah foto sampai 30 menit. Apa yang dia lihat? Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia dapat? Dan kenapa di menit ke 30 dia memutuskan untuk pergi? Saya ingin tahu jawaban dari semua pertanyaan saya itu.
Saya mencoba mengamati foto yang sama. Lima menit saya sudah bosan dan keluar. Selama lima menit tersebut kemudian saya kembali berpikir apa yang saya dapat. Banyak pengalaman visual yang saya dapatkan daripada saya hanya memandang foto tersebut selama lima detik. Saya jadi bisa tahu bahwa di sudut foto tersebut ada sebuah benda kecil berwarna merah yang saya tidak tahu itu apa, jumlah kursi di foto tersebut adalah 34 buah dan sebagainya dan sebagainya. Selain itu ada yang menurut saya lebih penting, Saya mendapatkan juga pengalaman psikologis yang berbeda dari sekedar saya melihat foto tersebut selama lima detik. Satu menit pertama saya merasakan sebuah keindahan, dua menit setelahnya saya merasa kesepian, satu menit kemudian saya merasakan kebosanan, menit terakhir saya merasakan kerinduan. Dari perasaan itu kemudian saya mendatangi lagi pameran yang sudah pernah saya datangi sebelumnya, mencoba menikmati dengan cara saya yang baru. Saya bisa bertahan hingga dua jam lebih dalam menikmati sebuah pameran dan mendapatkan pengalaman psikologis yang berbeda. Dari situlah saya menghabiskan perasaan bosan saya. Saya benar-benar ingin menjadi seseorang yang sudah tidak mempunyai stok bosan lagi sebelum saya memulai membuat Setengah Sendok Teh.
Dari situ lah Setengah Sendok Teh saya tulis. Saya ingin membuat sebuah film layaknya sebuah pameran foto ataupun lukisan. Gambar diam yang disusun menjadi sebuah film bercerita. Tujuannya hanya satu, kebosanan yang nyaman. Buat saya cerita yang ada di dalamnya bisa saya temukan nanti kapanpun. Menulis naskah film buat saya adalah sebuah perjalanan. Saya bisa saja mulai berjalan entah kemana dan tidak tahu kemana, karena saya hanya ingin berjalan. Tapi bisa saja saya menyiapkan segala sesuatunya dulu sampai benar-benar siap baru saya memulai sebuah perjalanan. Atau kadang di tengah perjalanan saya menemukan sebuah kompas ataupun peta yang membuat tujuan perjalanan kita semakin jelas mau kemana, bisa juga setelah saya terlalu lelah dengan perjalanan yang tidak tentu arah, memutuskan untuk berhenti, saya justru menemukan sebuah peta yang menunjukkan bahwa jalan yang saya tempuh ternyata salah sehingga saya harus mengulang darimana saya tadi mulai berjalan. Dan saya ibaratkan perjalanan itu tidak akan pernah selesai sampai film itu selesai.
Memulai proses Setengah Sendok Teh merupakan sebuah proses membuat film yang baru buat saya. Biasanya saya selalu mencari cerita terlebih dahulu kemudian setelah itu teknis pasti akan menyesuaikan cerita yang saya punya. Di Setengah Sendok Teh saya justru menemukan teknis yang akan saya pakai terlebih dahulu, cerita kemudian bisa menyesuaikan. Saya tidak begitu peduli dengan apakah itu benar atau salah karena apa yang saya rasakan ini benar-benar mengganggu pikiran saya sehingga harus di keluarkan.
Berbekal ingin membuat film dengan pola yang membosankan itulah kemudian saya berangkat. Kebosanan itu juga saya terapkan dalam memilih lokasi shoting maupun pemain. Pilihan-pilihan seperti lokasi bioskop, bis kota, rumah makan dan ruang tamu merupakan sebuah lokasi yang mengalami fase “hidup segan mati tak mau”. Semua pernah melewati masa kejayaan dan sampai sekarang masih tetap bertahan dalam kondisi yang kristis. Saya memutuskan untuk tidak begitu peduli dengan karakter, maksud saya disini adalah penonton tidak harus tahu detail tentang karakter di Setengah Sendok Teh, tidak harus tahu seperti apa wajahnya dan siapa namanya. Ini sebuah film yang lebih mengutamakan hubungan emosi antar ketiga tokoh, bukan karakter masing-masing tokoh. Karena itu saya selalu berusaha mengambil adegan dari jarak jauh.
Sangat sulit untuk menerapkan apa yang ada di kepala saya ini kepada para pemain. Semua pemain adalah orang tua para pembuat film ini. Tokoh Pria Ruang tamu adalah ayah saya, tokoh pria di dalam bus adalah ayah editor saya dan tokoh wanita penjaga bioskop adalah ibu kameramen saya. Ayah saya pada awalnya seperti tidak bisa memahami anaknya ingin membuat film yang seperti apa di Setengah Sendok Teh. Kebetulan beliau suka dengan film saya sebelumnya , Mayar dan Harap Tenang Ada ujian! Mungkin ada perasaan tidak rela anaknya membuat film serius semacam Setengah Sendok Teh. Saya hanya bilang kepada semua pemain, mainkan adegan yang ada di naskah ini selama mungkin sampai benar-benar merasa bosan. Kalo memang sudah tidak mampu lagi menahan kebosanan itu, silahkan tunjuk jari. Dalam satu scene yang pendek permainan bisa berlangsung selama 10-15 menit.
Shoting tidak ada masalah yang berarti karena semuanya sudah kita sepakati pada saat latihan. Kebosanan-kebosanan yang ditemukan pada saat latihan sudah diubah menjadi adegan yang nyaman. Hanya beberapa kru teknis yang sedikit terlihat kaget dan bertanya-tanya film seperti apakah yang sedang saya buat. Hampir semua kru sudah sangat terbiasa bekerja dengan saya yang tidak pernah membuat sesuatu yang aneh dimata mereka. Saya menambahkan adegan menyanyi di scene kamar hotel yang sekarang justru menjadi scene favorit saya di film ini. Saya selalu berusaha membuat adegan menyanyi di semua film saya mulai dari saya membuat Air Mata Surga, film pertama saya. Biasanya lagu yang dinyanyikan saya temukan di lokasi shoting. Dan juga televisi, saya suka bentuk dan suara televisi. Buat saya televisi adalah sebuah penemuan yang masih saya kagumi sampai detik ini. Saya menghormati itu dengan selalu berusaha menampilkan figure televisi di dalam film saya.
Versi awal editing keseluruhan Setengah Sendok Teh adalah 72 menit. Saya pernah memaksakan diri menonton versi itu sekali dan memang benar-benar bosan, tapi tidak nyaman. Beberapa adegan saya potong dan adegan yang tidak diperlukan saya buang. Jadilah versi 18 menit. Di editing inilah Setengah Sendok Teh mengalami perubahan cerita yang sangat besar. Naskah draft terakhir yang dipakai untuk shoting sangat berbeda dengan hasil akhir film ini. Dua belas scene yang ada di Setengah Sendok Teh menjadi berloncat-loncatan di saat editing, tapi saya suka draft terakhir versi 18 menit ini. Saya sangat tahu kalau saya sudah mengingkari konsep cerita atau bahkan konsep kebosanan yang ingin saya buat sejak awal, tapi memang seperti itulah perjalanan. Dan saya suka.
(Catatan saya untuk film Harap Tenang, Ada Ujian! bisa dibaca disini)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
cihhuuyy.. pilm paporitku ni.. walopun nontonnya harus disambi diskusi tiada henti ama ibunya dita.. kakakak.. seneg aku mas ama pilm ini.. sama harap tenang ada ujian juga... lebih suka yang mana ya??
wah bingunggg... eh mas blog mu aku link di blogroll ku ya...
Jangan lupa kalo bikin film baru aku dikasi liat.. hehehe
love this film too..
Post a Comment