Akhirnya selesai juga semester musim semi dan mulai menikmati liburan musim panas setelah hampir sebulan di hajar demikian banyak tugas akhir semester. Evaluasi dari semester kemaren adalah jangan terlalu banyak mengambil kelas untuk semester musim gugur yang akan datang. Belajar di kelas ternyata memang masih membosankan, belum lagi kewalahan membagi waktu mengerjakan tugas di akhir semester. Lebih baik sedikit duduk di kelas dan perbanyak jalan-jalan. Dan target semester depan adalah film sound. Berikut ini sedikit review untuk beberapa kelas yang aku ambil di semester musim semi kemaren :
Modern Film Theory
Kelas ini ternyata mempelajari tentang National France Cinema dan lebih fokus ke Francois Truffaut selama setengah semester. Sedangkan setengahnya lagi tentang Asian Cinema yang fokus ke Hong Kong dan Taiwan (Wong Kar Wai, Edward Yang dan Tsai Ming Liang). Aku sendiri nggak begitu tahu tentang apa yang mereka diskusikan karena kemampuan bahasa koreaku yang belum bisa mengikuti proses perkuliahan yang sangat cepat. Kelas ini hanya aku manfaatkan untuk menonton film dan belajar bahasa korea. Di saat aku sudah menyiapkan presentasi tentang Tsai Ming Liang, dosen di kelas ini malah menyuruh aku untuk menyiapkan presentasi tentang Indonesian Cinema. Jadi di akhir semester sebelum ujian mereka jadi tahu sejarah film Indonesia sejak jaman Loetoeng Kasaroeng, Usmar Ismail sampai MFI. Dan memang benar, sangat malu saat harus bilang bahwa film terbaik Indonesia yang berjudul Ekskul itu mengambil musik dari film korea yang berjudul Tae Guk Ki. Dan parahnya lagi tanpa sengaja hari itu aku memakai kaos MK pictures, PH yang memproduksi Tae Guk Ki.
Producing
Mata kuliah dengan dosen yang mengajar dengan bahasa korea tercepat, belum lagi dialeg Busan yang kadang orang korea (Seoul) pun nggak ngerti artinya apa. Untung saja kelas ini di tengah semester di isi dengan Im Kwon Taek Masterclass. Bersama lima orang teman tergabung di kelompok tiga (Naeng Jeong Blues) dan memproduksi film pendek adaptasi dari sebuah novel, To Be or Not To Be. Dari awal aku udah kesulitan karena novel itu berbahasa korea. Di proses script development kalo teman yang lain pegang naskah, aku pegang kamus Indonesia-Korea keluaran Pusat Studi Korea UGM. Shoting menyenangkan, bonus salah casting. Pemain tiba-tiba saja potong rambut setelah hari pertama dari tiga hari shoting yang di jadwalkan. Aku yang di produksi ini ada di departemen sinematografi senyum-senyum aja di saat yang lain marah-marah pasca peristiwa rambut itu. Hasilnya tidak terlalu menyenangkan, tapi proses yang sangat penting.
Cinematography
Agak belajar banyak di kelas ini mulai dari kamera 16mm sampai Camera Language. Walaupun ujian akhir semester kelas ini sedikit aneh. Tanpa di kasih tahu sebelumnya tiba-tiba saja sudah diberi jatah filmstock 16mm 400 feet. Harus menulis cerita saat itu juga dan shoting saat itu juga di studio. Mungkin karena aku masih eman-eman aja liat filmstock yang digunakan asal-asalan. Akhirnya di kelas ini untuk ujian aku bikin film pendek berjudul Kom (Dream). Hasilnya tidak cukup bagus karena kameramen yang selalu out focus dan dosen yang salah format ratio waktu telecine.
Digital Film Workshop
Kelas dengan kelompok yang paling menyenangkan. Ini satu-satunya kelas mahasiswa tahun kedua yang aku ambil. Dari awal kelompokku udah terlihat asyik. Di tugas pertama aku bikin scene pembunuhan yang jadi tugas terbaik. Trus aku sempet ninggalin kelompok ini saat mereka ada openclass selama dua hari di pedesaan dan aku harus ke Jeonju Film Festival. Lalu di tugas akhir semester membuat film pendek dengan judul Balkan Gudu (The Red Shoes). Ceritanya simpel, tentang seorang perempuan ABG yang tiba-tiba saja sepatu hak tinggi-nya jadi berasa sakit setelah cintanya ditolak. Tugasnya adalah bagaimana menggambarkan bahwa sakit yang dirasakan gadis itu ada di di kaki dan hatinya. Aku yang jadi kameramen cukup terbilang sukses di kelas ini. Hasil filmnya lumayan, tapi semua temen-temen kelompokku jadi terlihat lemas karena ada masalah teknis di sound ruang screening saat pemutaran.
Directing
Di kelas ini aku belajar banyak tentang adaptasi. Mulai adaptasi dari berita di koran, artikel di majalah, foto sampai judul lagu. Setiap minggu harus mempresentasikan cerita hasil adaptasi. Adaptasi dan remake memang cara yang cukup populer untuk nelajar film disini. Sebelum membuat film sendiri, beberapa kali ada tugas untuk re-make beberapa scene dari film yang udah ada. Aku membayangkan seperti band yang membawakan lagu orang lain terlebih dahulu sebelum mereka menciptakan lagu sendiri. Di akhir semester masing-masing diberi tugas personal. Tugas akhir semester berupa film essay tentang emosi. Aku membuat film tentang perasaan kangen terhadap keluarga. Konsepnya apa yang aku lihat disini beda dengan apa yang aku dengar. Aku melihat Korea, tapi yang ada di telingaku adalah suara-suara di Indonesia. Sebenernya hasil filmnya biasa, hanya beberapa stok gambar di korea yang aku beri ilustrasi musik dan suara-suara kedua keponakanku (Adam dan Dinda) yang sedang belajar membaca dan menyanyi. Tapi berhasil menjadi tugas terbaik dan dengan sukses membuat beberapa orang menangis pada saat pemutaran tugas di ruang screening.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Akhirnya terbukti kawan, bahwa kalimat "membuat film itu mudah" hanyalah bualan :-). Terbukti dari perjuanganmu yang berdarah-darah. Semoga sukses selalu ++++ Salam Sinema Indonesia ++++ Kusen Dony
Om,...
waktu adek Dinda dibilangi kalo suaranya dipakai di film nya om Ifa, adek langsung teriak, "Nggak,.... nggak boleh,....".
sambil nyungsepin kepalanya ke bantal.
Post a Comment