Jeong Yu Mi adalah salah satu actrees di Korea yang memulai kariernya dari film pendek lima tahun yang lalu. Setelah itu ia membintangi beberapa film dan serial televisi. Pada tahun 2005 dia berhasil mendapatkan dua penghargaan untuk actrees pendatang baru terbaik di dua filmnya.
Filmografi :
1. A Bittersweet Life (2005)
2. Close to you (2005)
3. Blossom Again (2005)
4. Family Ties (2006)
5. Que Sera Sera (TV Drama/2007)
6. Shim's Family (2007)
Berikut ini sedikit interview dalam broken english (Yu Mi) dan broken korea (Ifa) yang telah di edit menjadi broken indonesia :
Ifa (I) : Saya mengenal kamu dalam dua karakter, Yu Mi di film pendek pertamamu 4 tahun yang lalu dan Yu Mi yang sekarang ada di hadapan saya, ada bedanya?
Yu Mi (YM) : Ada dan tidak. Secara personality saya tidak berubah, seperti yang kamu liat sendiri dengan penampilan saya sekarang, saya 4 tahun yang lalu juga seperti ini. Dan kamu juga tahu saya naik mobil sendirian, walaupun manager saya selalu cerewet untuk menemani kemanapun saya pergi, karena itu yang dilakukan hampir semua artis di korea. Tapi saya juga merasa berubah, dulu saya sangat menyukai cermin, tiap hari saya duduk di depan cermin memandangai wajah saya. Sekarang saya juga masih melakukan itu, tapi membenci cermin karena saya merasa wajah saya berubah, saya ingin kembali dengan wajah saya 4 tahun yang lalu, saya 21 tahun waktu itu. Saya merasa wajah saya masih sangat natural di film pertama yang kamu liat itu.
I : Mmh..apa yang bisa membuat kamu nggak berubah?
YM : Saya sering ke Busan. Busan adalah hidup saya, sedangkan Seoul adalah kerjaan saya. Setiap tidak ada shoting saya selalu ke busan, kota kelahiran saya dan tempat dimana semua keluarga saya tinggal. Saya menyepi disini, saya suka sepi. Minum kopi dan membaca buku (Yu Mi mengeluarkan buku "Onel Sarangi", sebuah buku yang di tulis oleh seorang penyanyi terkenal korea). Saya sedang belajar untuk mengendalikan dan menenangkan pikiran dengan menyepi dan menyendiri di busan.
I : Yang tidak di sukai selama kamu pulang ke Busan?
YM : Ibu saya selalu marah karena saya bangun terlalu siang. Ibu saya masih tidak bisa punya anak yang bangunnya siang. Apalagi saya anak perempuan. Padahal saya ke Busan untuk itu, bangun siang, tapi itu yang Ibu saya paling nggak bisa ngerti. Makanya saya selalu renang di pagi hari. Alasan yang pertama karena memang saya suka renang, alasan yang kedua untuk menghindari ibu saya yang marah-marah.
I : Rencana tahun depan?
YM : Saya agak mengurangi jadwal shoting, tapi saya juga ada kontrak dengan beberapa pembuat film independen untuk main di feature film pertama mereka. Saya suka independen, karena saya masih ingat saya mulai dari dunia itu. Saya senang sekali dan menikmati main di film independen. Tapi ya seperti kamu juga tahu, susah buat mereka memulai membuat film panjang yang pertama. Jadi saya nggak tahu kapan akan shoting, tapi saya sudah janji membantu mereka. Kadang selalu jadi masalah saat saya punya managemen, karena saya hanya ingin membantu, tapi managemen punya standar yang lain.
I : Ada keinginan pencapaian lain?
YM : Bikin film!! Saya ingin sekali menjadi sutradara film pendek..independen..saya sudah punya cerita.
28 November 2007
27 November 2007
KERBAU, PUNK, ISTRI NGIDAM
Tulisan ini adalah cuplikan artikel dari rumah film tentang opening film festival film pendek konfiden 2007, ditulis oleh redaktur rumah film, Hikmat Darmawan. Artikel selengkapnya dapat di baca di rumahfilm.org.
Lebih manis, bahkan gombal, adalah karya Eddie Cahyono, Jalan Sepanjang Kenangan. Ketika beberapa kali sisipan dua tokoh utama film ini, Slamet dan Susi, berbicara kepada kamera di atas becak, mengungkapkan pikiran mereka seiring perkembangan cerita, Arief Ash Shiddiq (redaktur Visual Art) nyeletuk pada saya: “Wah, Harry Met Sally banget, ya.” Ini pujian. Sekaligus sebuah gambaran yang tepat, apa aspirasi film berdurasi 30 menit ini. Tak lain, film ini ingin menjadi komedi romantik ala Yogya.
Eddie terhitung sutradara muda yang sudah matang di film pendek. Ia adalah bagian dari komunitas Fourcolors Film, yang kini termasuk papan atas dalam ranah film pendek kita saat ini. Ciri mereka: perhatian penuh pada capaian teknis cerita, mau pun teknis pengambilan gambar dan fotografi. Seperti mereka ungkapkan pada beberapa forum diskusi, mereka ingin membuat film yang “enak ditonton”. Capaian teknis yang jadi obsesi mereka itu dikerahkan untuk mencapai ideal sebuah film yang “enak ditonton” tersebut.
Jalan Sepanjang Kenangan tersaji sebagai komedi romantik yang asyik. Sejak adegan pembukaan, yang sebetulnya “adegan ranjang”, suasana sudah kocak. Barangkali tampang si Slamet yang ndeso tapi juga dead pan (lempang), barangkali kekenesan Susi yang berlebihan tapi terasa tulus, dialog sederhana yang jitu terasa sampai dengan tepat, menohok syaraf lucu di benak penonton. Slamet diperankan oleh Adi Marsono (yang juga menyanyikan lagu-lagu keroncong-dangdut yang jadi soundtrack film ini; Susi diperankan Kotty Kityakara. Dari scene awal, terasa sudah, kedua pemeran ini tepat belaka casting mereka, dan ada kimia yang baik di antara mereka. Mereka hanya agak tak meyakinkan di adegan mengharukan pada akhir cerita.
Begitulah, cerita bergulir. Slamet yang dulu tukang becak dan kini PNS (Pegawai Negeri Sipil), seharian harus memenuhi kerewelan Susi yang selalu memakai alasan sedang ngidam. Ini jelas Indonesiawi sekali –karena ngidam itu tak ada dalam literatur ilmiah, tapi hanya ada dalam ilmu rumah tangga Nusantara. Susi ngidam berjalan-jalan keliling Yogya (dan membuka peluang film ini jadi film resmi Pemda Yogya yang menarik sekali) dan harus naik becak yang dikayuh Slamet dengan pakaian PNS-nya. Seharian, Slamet harus ngopeni (mengurusi) kerewelan Susi.
Dari premis sederhana ini, berkembang sebuah upaya merenungi, dengan humor, pasang dan surut hubungan suami-istri. Dari pertanyaan awal yang rupanya tak akan hilang sampai bertahun-tahun pernikahan, “mengapa dia memilih saya?” (“Mengapa Susi memilih saya daripada si superviser es teler di mal itu?”); atau, “apakah dia membohongiku? Mengapa?”; sampai pertanyaan genting, “mengapa dia kini berubah?” dan “apakah kita sanggup bertahan?”
Dipandang dari kacamata feminisme atau kepekaan gender, film ini tampak terlalu doyong pada sudut pandang lelaki. Bisa jadi, bias gender, apa boleh buat, belum dapat diatasi sungguh-sungguh dalam kebanyakan film kita. Jalan Sepanjang Kenangan masih memandang perempuan sebagai pihak yang harus di-emong, di-among, dihadapi dengan sabar karena merepotkan. Apalagi, toh, itu semua demi si jabang bayi. Perempuan adalah istri yang diasuh, dan adalah ibu yang harus dimuliakan.
Tapi ini sekadar komedi-romantik. Tanpa hendak mengabaikan masalah bias gender itu, saya pikir kita tak bisa melupakan bahwa memang poin film ini tak lain dari hendak mengajak tertawa. Eddie tampak telah menguasai berbagai siasat naratif dan siap untuk tujuan itu. Sisipan monolog, pembabakan cerita jadi empat bagian dengan judul-judul menggelitik, latar nyanyian yang memberi aksen kelucuan, dialog-dialog yang bernas, lokal, dan sesekali sketsa sosial yang aktual.
Dalam sebuah adegan, Slamet ragu masuk ke mal yang dulunya jadi tempat pacaran mereka. Lalu, shot Slamet dan Susi duduk di becak yang menghadap mal itu, bengong karena seperti kata Slamet, “wah, kalau diperhatikan, mal ini ternyata besar sekali, ya.” Sebagaimana seharusnya sebuah komedi-romantik, sketsa itu tiba-tiba membelok pada pertengkaran domestik tentang superviser es teler dan, akhirnya, apa makna mereka menikah.
Tak pelak, ini film hiburan. Seperti juga Trophy Buffalo yang manis itu. Dan itulah mengapa saya merasa ada sesuatu yang patut disayangkan: tak ada satu pun produser film hiburan ternama yang datang ke acara ini. Kedua film ini mestinya berada dalam sphere film hiburan mainstream (arus utama). Keragaman tema yang sesungguhnya bisa sangat menarik, siasat naratif aneka rupa yang masih bisa digali terus, hingga penggarapan teknis dalam skenario, pengadeganan, dan seni pemeranan seperti yang ditampakkan oleh Trophy Buffalo dan Jalan Sepanjang Kenangan, bisa memberi variasi menyegarkan buat film arus utama kita. Pembuat film pendek macam Vanni dan Eddie perlu diberi peluang untuk melanjutkan fase kreatif mereka di aras film panjang arus utama, sebelum mereka membusuk dalam dunia film pendek.
Note : Selamat untuk "Jalan Sepanjang Kenangan" yang berhasil mendapatkan award "Film Pendek Fiksi Terbaik Festival FIlm Konfiden 2007", Viva Eddie Cahyono!!
Lebih manis, bahkan gombal, adalah karya Eddie Cahyono, Jalan Sepanjang Kenangan. Ketika beberapa kali sisipan dua tokoh utama film ini, Slamet dan Susi, berbicara kepada kamera di atas becak, mengungkapkan pikiran mereka seiring perkembangan cerita, Arief Ash Shiddiq (redaktur Visual Art) nyeletuk pada saya: “Wah, Harry Met Sally banget, ya.” Ini pujian. Sekaligus sebuah gambaran yang tepat, apa aspirasi film berdurasi 30 menit ini. Tak lain, film ini ingin menjadi komedi romantik ala Yogya.
Eddie terhitung sutradara muda yang sudah matang di film pendek. Ia adalah bagian dari komunitas Fourcolors Film, yang kini termasuk papan atas dalam ranah film pendek kita saat ini. Ciri mereka: perhatian penuh pada capaian teknis cerita, mau pun teknis pengambilan gambar dan fotografi. Seperti mereka ungkapkan pada beberapa forum diskusi, mereka ingin membuat film yang “enak ditonton”. Capaian teknis yang jadi obsesi mereka itu dikerahkan untuk mencapai ideal sebuah film yang “enak ditonton” tersebut.
Jalan Sepanjang Kenangan tersaji sebagai komedi romantik yang asyik. Sejak adegan pembukaan, yang sebetulnya “adegan ranjang”, suasana sudah kocak. Barangkali tampang si Slamet yang ndeso tapi juga dead pan (lempang), barangkali kekenesan Susi yang berlebihan tapi terasa tulus, dialog sederhana yang jitu terasa sampai dengan tepat, menohok syaraf lucu di benak penonton. Slamet diperankan oleh Adi Marsono (yang juga menyanyikan lagu-lagu keroncong-dangdut yang jadi soundtrack film ini; Susi diperankan Kotty Kityakara. Dari scene awal, terasa sudah, kedua pemeran ini tepat belaka casting mereka, dan ada kimia yang baik di antara mereka. Mereka hanya agak tak meyakinkan di adegan mengharukan pada akhir cerita.
Begitulah, cerita bergulir. Slamet yang dulu tukang becak dan kini PNS (Pegawai Negeri Sipil), seharian harus memenuhi kerewelan Susi yang selalu memakai alasan sedang ngidam. Ini jelas Indonesiawi sekali –karena ngidam itu tak ada dalam literatur ilmiah, tapi hanya ada dalam ilmu rumah tangga Nusantara. Susi ngidam berjalan-jalan keliling Yogya (dan membuka peluang film ini jadi film resmi Pemda Yogya yang menarik sekali) dan harus naik becak yang dikayuh Slamet dengan pakaian PNS-nya. Seharian, Slamet harus ngopeni (mengurusi) kerewelan Susi.
Dari premis sederhana ini, berkembang sebuah upaya merenungi, dengan humor, pasang dan surut hubungan suami-istri. Dari pertanyaan awal yang rupanya tak akan hilang sampai bertahun-tahun pernikahan, “mengapa dia memilih saya?” (“Mengapa Susi memilih saya daripada si superviser es teler di mal itu?”); atau, “apakah dia membohongiku? Mengapa?”; sampai pertanyaan genting, “mengapa dia kini berubah?” dan “apakah kita sanggup bertahan?”
Dipandang dari kacamata feminisme atau kepekaan gender, film ini tampak terlalu doyong pada sudut pandang lelaki. Bisa jadi, bias gender, apa boleh buat, belum dapat diatasi sungguh-sungguh dalam kebanyakan film kita. Jalan Sepanjang Kenangan masih memandang perempuan sebagai pihak yang harus di-emong, di-among, dihadapi dengan sabar karena merepotkan. Apalagi, toh, itu semua demi si jabang bayi. Perempuan adalah istri yang diasuh, dan adalah ibu yang harus dimuliakan.
Tapi ini sekadar komedi-romantik. Tanpa hendak mengabaikan masalah bias gender itu, saya pikir kita tak bisa melupakan bahwa memang poin film ini tak lain dari hendak mengajak tertawa. Eddie tampak telah menguasai berbagai siasat naratif dan siap untuk tujuan itu. Sisipan monolog, pembabakan cerita jadi empat bagian dengan judul-judul menggelitik, latar nyanyian yang memberi aksen kelucuan, dialog-dialog yang bernas, lokal, dan sesekali sketsa sosial yang aktual.
Dalam sebuah adegan, Slamet ragu masuk ke mal yang dulunya jadi tempat pacaran mereka. Lalu, shot Slamet dan Susi duduk di becak yang menghadap mal itu, bengong karena seperti kata Slamet, “wah, kalau diperhatikan, mal ini ternyata besar sekali, ya.” Sebagaimana seharusnya sebuah komedi-romantik, sketsa itu tiba-tiba membelok pada pertengkaran domestik tentang superviser es teler dan, akhirnya, apa makna mereka menikah.
Tak pelak, ini film hiburan. Seperti juga Trophy Buffalo yang manis itu. Dan itulah mengapa saya merasa ada sesuatu yang patut disayangkan: tak ada satu pun produser film hiburan ternama yang datang ke acara ini. Kedua film ini mestinya berada dalam sphere film hiburan mainstream (arus utama). Keragaman tema yang sesungguhnya bisa sangat menarik, siasat naratif aneka rupa yang masih bisa digali terus, hingga penggarapan teknis dalam skenario, pengadeganan, dan seni pemeranan seperti yang ditampakkan oleh Trophy Buffalo dan Jalan Sepanjang Kenangan, bisa memberi variasi menyegarkan buat film arus utama kita. Pembuat film pendek macam Vanni dan Eddie perlu diberi peluang untuk melanjutkan fase kreatif mereka di aras film panjang arus utama, sebelum mereka membusuk dalam dunia film pendek.
Note : Selamat untuk "Jalan Sepanjang Kenangan" yang berhasil mendapatkan award "Film Pendek Fiksi Terbaik Festival FIlm Konfiden 2007", Viva Eddie Cahyono!!
25 November 2007
FILM WORKSHOP 2 : ACTOR DIRECTING
Pada workshop kedua di hari minggu, Kim Jong Kwan menjelaskan tentang actor directing. Saya kali ini benar-benar tidak tahu apa yang dikatakannya. Kemampuan bahasa korea saya belum cukup advance untuk menangkap kalimat-kalimatnya yang sangat cepat. Yang jelas Jong Kwan memutar beberapa filmnya di jam pertama, kemudian menjelaskan tentang close up directing setelah memutar salah satu scene film The Double Life of Veronique dan Blue (Krzysztof Kieslowski).
FILM WORKSHOP 1 : SPACE DIRECTING
Busan Sinematek akhir November ini mengadakan workshop penyutradaraan setiap akhir pekan selama tiga minggu berturut-turut. Minggu pertama ini workshop di isi oleh Kim Jong Kwan, seorang sutradara dari Seoul. Pada pertemuan pertama Kim Jong Kwan menjelaskan tentang space directing kepada peserta workshop yang berjumlah sekitar 20 orang.
Beginilah kira-kira yang bisa saya tangkap dari workshop tersebut :
Kim Jong Kwan memutar beberapa sample film untuk menjelaskan tentang materinya, film pertama yang ia putar ada dua film eksperimental karya Leighton Pierce, Glass dan Red Swing. Di film ini dia menjelaskan bagaimana Leighton Pierce mampu menciptakan imajinasi space yang luar biasa. Hanya dengan satu shot yang sangat close up, film itu mampu membuat imajinasi penonton tentang ruang yang sangat luas. Dalam satu shot tersebut terdiri dari beberapa layer dengan sound yang memang mampu menciptakan ruang buat penonton. Kemudian Jong Kwan memutar film First Love (Lee Myung Se), Flowers from Shanghai (Hou Hsiao Hsien), Chungking Express (Wong Kar Wai) dan beberapa karya Kieslowski.
Dengan film-film itu Jong Kwan ingin menunjukkan bahwa untuk menciptakan ruang di sekitar actor dalam film bisa dilakukan dengan banyak cara. Bisa dengan cara yang sangat realis ataupun puitis. Atau seperti yang Jong Kwan pilih untuk membuat film-filmnya, puitis memories, dengan cara ini Jong Kwan menginginkan penonton selalu terbawa ke ruang masa lalu karakternya. Intinya dari workshop ini adalah bahwa untuk menciptakan ruang dalam film tidak selalu terbatas dengan sebuah tekhnis, yang penting penonton dapat mengerti dan memahami situasi dan emosi di sekitar actor. Baik dengan sound, komposisi kamera, extras, dialog, setting, narasi dan cara-cara yang lain.
Beginilah kira-kira yang bisa saya tangkap dari workshop tersebut :
Kim Jong Kwan memutar beberapa sample film untuk menjelaskan tentang materinya, film pertama yang ia putar ada dua film eksperimental karya Leighton Pierce, Glass dan Red Swing. Di film ini dia menjelaskan bagaimana Leighton Pierce mampu menciptakan imajinasi space yang luar biasa. Hanya dengan satu shot yang sangat close up, film itu mampu membuat imajinasi penonton tentang ruang yang sangat luas. Dalam satu shot tersebut terdiri dari beberapa layer dengan sound yang memang mampu menciptakan ruang buat penonton. Kemudian Jong Kwan memutar film First Love (Lee Myung Se), Flowers from Shanghai (Hou Hsiao Hsien), Chungking Express (Wong Kar Wai) dan beberapa karya Kieslowski.
Dengan film-film itu Jong Kwan ingin menunjukkan bahwa untuk menciptakan ruang di sekitar actor dalam film bisa dilakukan dengan banyak cara. Bisa dengan cara yang sangat realis ataupun puitis. Atau seperti yang Jong Kwan pilih untuk membuat film-filmnya, puitis memories, dengan cara ini Jong Kwan menginginkan penonton selalu terbawa ke ruang masa lalu karakternya. Intinya dari workshop ini adalah bahwa untuk menciptakan ruang dalam film tidak selalu terbatas dengan sebuah tekhnis, yang penting penonton dapat mengerti dan memahami situasi dan emosi di sekitar actor. Baik dengan sound, komposisi kamera, extras, dialog, setting, narasi dan cara-cara yang lain.
9th Independent Film Festival Made in Busan 2007
Festival yang sudah kesembilan kalinya ini berlangsung dari tanggal 23-27 November 2007 di Busan Sinematek. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari festival ini kalo dilihat dari programnya, hanya memutar sekitar 30 film pendek fiksi, eksperimental maupun dokumenter; 3 film panjang dan beberapa video klip. Yang membuat festival ini berbeda adalah semua film yang diputar diproduksi di busan. Kebanyakan dan hampir semuanya adalah karya mahasiswa sekolah film di busan seperti Dongseo Unviversity, Tongmyong University, Dongeui University. Kyungsung University, Pukyong National University dan Youngsan University sampai Busan Arts College.
Mungkin itu memang keistimewaan setiap festival film pendek di Korea, setiap festival film sekecil apapun mempunyai jenis kurasi yang berbeda, sehingga film yang di putar pun beda dengan film-film yang ada di festival lainnya. Beda dengan beberapa festival film pendek di Indonesia adalah di festival ini setiap penonton diwajibkan membeli tiket seharga 4.000 won yang nantinya akan di share untuk festival organiser dan filmmaker. Walaupun tidak terlalu banyak yang datang untuk menonton, filmmaker menjadi tahu siapa saja yang benar-benar berniat mengapresiasi karyanya. Walaupun saya juga nggak bisa protes saat film yang saya tonton semua berbahasa korea tanpa English Subtitle.
Mungkin itu memang keistimewaan setiap festival film pendek di Korea, setiap festival film sekecil apapun mempunyai jenis kurasi yang berbeda, sehingga film yang di putar pun beda dengan film-film yang ada di festival lainnya. Beda dengan beberapa festival film pendek di Indonesia adalah di festival ini setiap penonton diwajibkan membeli tiket seharga 4.000 won yang nantinya akan di share untuk festival organiser dan filmmaker. Walaupun tidak terlalu banyak yang datang untuk menonton, filmmaker menjadi tahu siapa saja yang benar-benar berniat mengapresiasi karyanya. Walaupun saya juga nggak bisa protes saat film yang saya tonton semua berbahasa korea tanpa English Subtitle.
19 November 2007
CERITA NOMOR 3594
Pagi ini sudah dua jam aku menunggunya. Dan selama dua jam itu, sudah enam kali ia mengirim pesan pendek dan dua kali menelpon. Di depanku juga sudah cangkir kopi ketiga, yang aku tidak tahu sudah berapa mobil yang melewati jalan di sebelah kananku. Tadinya aku masih berusaha menghitung mobil itu karena pagi ini memang lebih sepi dari hari kemaren. Tapi dia datang terlalu lama, aku malas menghitung lagi.
Handphoneku berdering, mungkin ini telpon darinya yang ketiga. Benar, dia. Aku mengangkatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata, mungkin ia hanya mendengar desahan nafas kesalku.
“Maaf, aku terlambat..”
Dia membuka percakapan dengan kalimatnya yang sangat bodoh, sungguh kalimat yang sangat tidak tepat diucapkan oleh orang yang sudah dua tahun sekolah di luar negeri.
“Eh..maksudku..aku tetap datang..aku tetap datang..tunggu aku!”
“Please..jangan pulang..kamu sendiri bilang kan kamu datang kesini karena aku..”
Aku tetap tidak mengeluarkan sepatah kata untuk menunjukkan seperti apa perasaanku menunggunya. Dan dia tahu itu, lalu menutup teleponnya. Setelah telepon itu, mungkin aku masih duduk di tempat yang sama selama dua jam dan dia belum juga datang, juga tidak ada telepon maupun pesan pendek lagi darinya. Aku pergi.
Sekarang, aku sudah tidak bisa lagi menunggunya. Di hari yang sama saat aku meninggalkannya, dia juga meninggalkanku; untuk selamanya. Sebuah mobil berwarna merah mengakhiri hidupnya.
Handphoneku berdering, mungkin ini telpon darinya yang ketiga. Benar, dia. Aku mengangkatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata, mungkin ia hanya mendengar desahan nafas kesalku.
“Maaf, aku terlambat..”
Dia membuka percakapan dengan kalimatnya yang sangat bodoh, sungguh kalimat yang sangat tidak tepat diucapkan oleh orang yang sudah dua tahun sekolah di luar negeri.
“Eh..maksudku..aku tetap datang..aku tetap datang..tunggu aku!”
“Please..jangan pulang..kamu sendiri bilang kan kamu datang kesini karena aku..”
Aku tetap tidak mengeluarkan sepatah kata untuk menunjukkan seperti apa perasaanku menunggunya. Dan dia tahu itu, lalu menutup teleponnya. Setelah telepon itu, mungkin aku masih duduk di tempat yang sama selama dua jam dan dia belum juga datang, juga tidak ada telepon maupun pesan pendek lagi darinya. Aku pergi.
Sekarang, aku sudah tidak bisa lagi menunggunya. Di hari yang sama saat aku meninggalkannya, dia juga meninggalkanku; untuk selamanya. Sebuah mobil berwarna merah mengakhiri hidupnya.
17 November 2007
SIAPA NAMA KOREA ANDA?
Ini dapat info dari milist, silahkan mencoba :
Surname
Korean surname is the last number in your year of birth
0: Park 1: Kim 2: Shin 3: Choi 4: Song 5: Kang 6: Han 7: Lee 8: Sung 9: Jung
Middle name
Korean middle name is your month of birth
1: Yong 2: Ji 3: Je 4: Hye 5: Dong 6: San 7: Ha 8: Hyo 9: Soo 10: Eun
11: Hyun 12: Rae
Name
Your name is your date of birth
1: Hwa 2: Woo 3: Joon 4: Hee 5: Kyo 6: Kyung 7: Wook 8: Jin 9: Jae 10: Hoon 11: Ra 12: Bin 13: Sun 14: Ri 15: Soo 16: Rim 17: Ah 18: Ae 19: Neul 20: Mun 21: In 22: Mi 23: Ki 24: Sang 25: Byung 26: Seok 27: Gun 28: Yoo
29: Sup 30: Won 31: Sub
Salam,
Jung Rae Rim :)
Surname
Korean surname is the last number in your year of birth
0: Park 1: Kim 2: Shin 3: Choi 4: Song 5: Kang 6: Han 7: Lee 8: Sung 9: Jung
Middle name
Korean middle name is your month of birth
1: Yong 2: Ji 3: Je 4: Hye 5: Dong 6: San 7: Ha 8: Hyo 9: Soo 10: Eun
11: Hyun 12: Rae
Name
Your name is your date of birth
1: Hwa 2: Woo 3: Joon 4: Hee 5: Kyo 6: Kyung 7: Wook 8: Jin 9: Jae 10: Hoon 11: Ra 12: Bin 13: Sun 14: Ri 15: Soo 16: Rim 17: Ah 18: Ae 19: Neul 20: Mun 21: In 22: Mi 23: Ki 24: Sang 25: Byung 26: Seok 27: Gun 28: Yoo
29: Sup 30: Won 31: Sub
Salam,
Jung Rae Rim :)
16 November 2007
IM KWON TAEK COLLEGE OF FILM & PERFORMING ARTS
Akhirnya resmi juga Fakultas Film Dongseo University berubah nama menjadi Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts. Im Kwon Taek adalah seorang sesepuh perfilman di Korea dan namanya sudah sangat di kenal di dunia film international, bahkan sutradara Korea sekaliber Bong Joon Ho (Memories of Murder, The Host) ataupun Park Chan Wook (Trilogy Vengeane, I'm Cyborg but that's Ok) sangat bisa dia sapa hanya dengan kalimat "Kamu Siapa?" dan kedua sutradara itu hanya menunduk sambil senyum-senyum. Mungkin karena perbedaan generasi yang sudah sangat jauh dan kebiasaan budaya Korea yang sangat menaruh rasa hormat kepada yang dituakan ditambah usia Im Kwon Taek yang sudah sangat tua. Tahun kemaren waktu di Asian Film Academy saya sempat diberi kesempatan untuk meremake salah satu scene di filmnya, kondisinya sudah sangat lemah, tangannya sudah terlihat tremor. Hanya satu kalimat yang dia ucapkan sebelum shooting "Saya percaya kamu bisa berbuat lebih baik daripada saya..". Tapi kharismanya benar-benar membuat passion saya menjadi lebih besar. Salut tahun ini masih bisa memproduksi filmnya yang ke-100 dan kemaren sangat susah untuk mendapatkan tiketnya di Pusan Film Festival.
Berikut Mini Biografi Im Kwon Taek dari imdb.com :
Born in Changsong, Cheollanam-do, 2 May 1936. He grew up in the southern city Kwangju, where he completed senior high school. His family suffered considerable hardships and losses in the Korean War, so he had to move to Pusan in search of work: he was a labourer before trying to start a business recycling US Army boots into shoes. He moved to Seoul in 1956, where a film director Chung Chang-Hwa offered him work as a production assistant in exchange for room and board. Five years later Chung recommended him as a director, and he completed his first feature in 1962. He was a prolific director of films in various popular genres until the late 1970s but felt a deepening urge to make more serious films that first found in outlet in his 1978 film, Jokbo (1979) (Genealogy). Since 1981's Mandala (1981), he has been considered Korea's leading director. He and his films have won every possible prize in Korea's three annual film awards ceremonies, and a growing number of international festival prizes too. His film Seopyeonje (1993) (is the most honoured Korean film ever made, with (to date) 27 domestic and three international prizes; it was also an enormous success in the Korean market.
Dan berikut testimonialnya saat peresmian Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts :
Dongseo University has had the foresight to nurture the cinematic arts. The Asia Film Academy has been held under the joint auspices of Dongseo Unniversity, Pusan International Film Festival and Korean Academy of Film Arts. In Addition, recent invesments have now furnished the Dongseo Media Centre with state-of-the-art visual fasilities and equipment. More than even before. students now have a broader choices in developing both the theoretical and technical skills required to compete in the rapidly changing world of cinema. I will do my best in cultivating internationally renowed filmmakers, disseminating my knowledge and experience while sharing the arts of the cinematic craft with all inspiring filmmakers.
Im Kwon Taek College of Film & Peforming Arts is a college which Dongseo established with Director Im Kwon Taek, a Korean film master. The aim of the newly established college is to cultivate students to compete and shine in the world of film and performing arts. It consists of three departments: film, musical and acting.
Berikut Mini Biografi Im Kwon Taek dari imdb.com :
Born in Changsong, Cheollanam-do, 2 May 1936. He grew up in the southern city Kwangju, where he completed senior high school. His family suffered considerable hardships and losses in the Korean War, so he had to move to Pusan in search of work: he was a labourer before trying to start a business recycling US Army boots into shoes. He moved to Seoul in 1956, where a film director Chung Chang-Hwa offered him work as a production assistant in exchange for room and board. Five years later Chung recommended him as a director, and he completed his first feature in 1962. He was a prolific director of films in various popular genres until the late 1970s but felt a deepening urge to make more serious films that first found in outlet in his 1978 film, Jokbo (1979) (Genealogy). Since 1981's Mandala (1981), he has been considered Korea's leading director. He and his films have won every possible prize in Korea's three annual film awards ceremonies, and a growing number of international festival prizes too. His film Seopyeonje (1993) (is the most honoured Korean film ever made, with (to date) 27 domestic and three international prizes; it was also an enormous success in the Korean market.
Dan berikut testimonialnya saat peresmian Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts :
Dongseo University has had the foresight to nurture the cinematic arts. The Asia Film Academy has been held under the joint auspices of Dongseo Unniversity, Pusan International Film Festival and Korean Academy of Film Arts. In Addition, recent invesments have now furnished the Dongseo Media Centre with state-of-the-art visual fasilities and equipment. More than even before. students now have a broader choices in developing both the theoretical and technical skills required to compete in the rapidly changing world of cinema. I will do my best in cultivating internationally renowed filmmakers, disseminating my knowledge and experience while sharing the arts of the cinematic craft with all inspiring filmmakers.
Im Kwon Taek College of Film & Peforming Arts is a college which Dongseo established with Director Im Kwon Taek, a Korean film master. The aim of the newly established college is to cultivate students to compete and shine in the world of film and performing arts. It consists of three departments: film, musical and acting.
NONTON TEATER DI KAMPUS
Dalam rangka berubahnya nama Fakultas Film Dongseo University menjadi "Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts", hari ini tadi beberapa mahasiswa jurusan performing arts mementaskan sebuah drama musikal berjudul "Wild Party". Sebuah pertunjukan yang menurutku cukup rapi untuk level mahasiswa sekolah seni. Dari awal aku sudah menebak kalo sutradaranya pasti seorang perempuan. Dia sangat detail mengatur puluhan figuran dengan koreografi dan lagu yang mampu memainkan emosi penonton. Desain produksi juga menarik, walaupun masih banyak bocor di sana-sini, tapi nuansa "party" yang di munculkan bisa aku tangkap. Paling nggak itu apresiasi dari seorang penonton yang tidak tahu dialog-dialog dan lirik-lirik mereka dalam bahasa Korea. Hal yang paling positif adalah musik yang di mainkan di belakang panggung secara live, sangaaat rapi. Hanya kadang kurang di imbangi oleh pemain yang menyanyikan lagu dengan fals, dan aku yakin hanya karena nafas mereka yang ngos-ngosan setelah menari dengan gerakan yang energik.
Yang sangat menarik dari setiap aktifitas di Korea adalah totalitas dan semangat, mereka sangat sadar apa arti dari setiap performance yang di lakukan. Di lobby fakultas tertempel foto-foto mereka lengkap dengan nomor telpon dan elamat email. Mereka sadar bahwa performance adalah hidup mereka. Mereka sama sekali tidak menyia-nyiakan setiap pertunjukan yang mereka lakukan, karena saya yakin mereka tidak hanya pentas untuk penikmat seni, tapi juga untuk pencari bakat ataupun produser yang akan tertarik dengan penampilan malam itu. Dan ternyata benar, setelah pertunjukan selesai banyak sekali yang langsung menuju ke foto tersebut sekedar untuk mencatat nama, nomor telpon dan alamat email. Walaupun diantara mereka yang mencatat terlihat banyak juga ABG-ABG yang masih mengenakan seragam sekolah. Anyway, performance yang cukup bagus : 7/10.
Yang sangat menarik dari setiap aktifitas di Korea adalah totalitas dan semangat, mereka sangat sadar apa arti dari setiap performance yang di lakukan. Di lobby fakultas tertempel foto-foto mereka lengkap dengan nomor telpon dan elamat email. Mereka sadar bahwa performance adalah hidup mereka. Mereka sama sekali tidak menyia-nyiakan setiap pertunjukan yang mereka lakukan, karena saya yakin mereka tidak hanya pentas untuk penikmat seni, tapi juga untuk pencari bakat ataupun produser yang akan tertarik dengan penampilan malam itu. Dan ternyata benar, setelah pertunjukan selesai banyak sekali yang langsung menuju ke foto tersebut sekedar untuk mencatat nama, nomor telpon dan alamat email. Walaupun diantara mereka yang mencatat terlihat banyak juga ABG-ABG yang masih mengenakan seragam sekolah. Anyway, performance yang cukup bagus : 7/10.
Subscribe to:
Posts (Atom)