Showing posts with label Filmmaking. Show all posts
Showing posts with label Filmmaking. Show all posts

12 March 2009

MINGGU KEDUA DI CHENNAI

Sudah hampir masuk minggu ketiga di Chennai untuk post produksi Garuda Di Dadaku. Jika sesuai dengan rencana kurang dari seminggu lagi semua proses Garuda Di Dadaku sudah selesai. Proses color grading sudah beres diminggu pertama, hasilnya sangat memuaskan setelah melihat hasil print. Semua musik untuk scoring dan soundtrack sudah terdengar, dahsyat. Sudah saya bilang, saya berada di tengah orang-orang yang tepat untuk mengerjakan Garuda Di Dadaku, semua bekerja pada porsi yang tepat. Ini ada bocoran untuk teaser poster. Selamat menikmati sebuah film keluarga Indonesia, selamat menunggu tanggal 18 Juni 2009.

13 December 2008

HERE IS IFA

Wuuaaah..lama sekali tidak menulis atau bahkan sekedar membuka blog saya sendiri. Artinya pasti memang banyak sekali yang terjadi dalam hidup saya selama ini :) Intinya saya memutuskan untuk meninggalkan Korea pada bulan September. Dan mulai saat itu waktu seperti berjalan dengan sangat cepat, atau mungkin juga terlalu banyak yang harus saya kerjakan sampai membuat adanya jarak antara saya dengan internet.

Intinya saja, mulai saat itu saya terlalu sibuk menyiapkan film panjang saya yang pertama, GARUDA DI DADAKU. Setelah menyelesaikan shoting selama bulan November, film itu sekarang masuk tahap editing dan rencana akan release pada bulan Juni 2009. Sebuah film anak dan sepak bola Indonesia. Film ini diproduksi oleh SBO Films, sister company dari Salto Films. Dan karena beberapa hal itu pula akhirnya film RUMAH DAN MUSIM HUJAN menjadi film panjang kedua saya dan mudah-mudahan bisa diproduksi pada bulan Maret 2009.

Tulisan ini juga sekaligus mengabarkan kalo saya sudah resmi kembali dan ada di tanah air, kalaupun saya masih harus ke Korea lagi pasti hanya untuk menyelesaikan beberapa urusan sekolah yang belum sempat terselesaikan sebelum saya pulang. Kabar lain, film pendek saya HUAN CHEN GUANG juga sudah mulai jalan-jalan bersama project film 9808. Setelah International Premiere di Pusan Int'l Film Festival, awal tahun depan akan Europe Premiere di Int'l Film Festival Rotterdam. Dan juga film SETENGAH SENDOK TEH yang sudah mulai diputar di Indonesia dan berhasil membuat bosan penonton :)

Demikianlah kabar dan cerita singkatnya. Kalimat yang lagi ngetrend dan terdengar dimanapun saya bertemu teman-teman adalah "Ifaaa..kamu kuruuuus bangeeeet!! turun berapa kiloo?? Gimana caranyaaa???"

15 July 2008

9808 MOVIE TRAILER


A group of filmmakers from various background, visual artists, musicians, and other creative/arts workers collaborate to honor a decade of Indonesian Reform era (1998-2008) by preparing 10 self funded short films inspired by May'98 events. This project is expected to initiate a dialogue within the public, especially among the students in an attempt to empower the public to address issues and to say something through audio-visual-medium.

15 June 2008

SEMESTER MUSIM SEMI SELESAI

Akhirnya selesai juga semester musim semi dan mulai menikmati liburan musim panas setelah hampir sebulan di hajar demikian banyak tugas akhir semester. Evaluasi dari semester kemaren adalah jangan terlalu banyak mengambil kelas untuk semester musim gugur yang akan datang. Belajar di kelas ternyata memang masih membosankan, belum lagi kewalahan membagi waktu mengerjakan tugas di akhir semester. Lebih baik sedikit duduk di kelas dan perbanyak jalan-jalan. Dan target semester depan adalah film sound. Berikut ini sedikit review untuk beberapa kelas yang aku ambil di semester musim semi kemaren :

Modern Film Theory
Kelas ini ternyata mempelajari tentang National France Cinema dan lebih fokus ke Francois Truffaut selama setengah semester. Sedangkan setengahnya lagi tentang Asian Cinema yang fokus ke Hong Kong dan Taiwan (Wong Kar Wai, Edward Yang dan Tsai Ming Liang). Aku sendiri nggak begitu tahu tentang apa yang mereka diskusikan karena kemampuan bahasa koreaku yang belum bisa mengikuti proses perkuliahan yang sangat cepat. Kelas ini hanya aku manfaatkan untuk menonton film dan belajar bahasa korea. Di saat aku sudah menyiapkan presentasi tentang Tsai Ming Liang, dosen di kelas ini malah menyuruh aku untuk menyiapkan presentasi tentang Indonesian Cinema. Jadi di akhir semester sebelum ujian mereka jadi tahu sejarah film Indonesia sejak jaman Loetoeng Kasaroeng, Usmar Ismail sampai MFI. Dan memang benar, sangat malu saat harus bilang bahwa film terbaik Indonesia yang berjudul Ekskul itu mengambil musik dari film korea yang berjudul Tae Guk Ki. Dan parahnya lagi tanpa sengaja hari itu aku memakai kaos MK pictures, PH yang memproduksi Tae Guk Ki.

Producing
Mata kuliah dengan dosen yang mengajar dengan bahasa korea tercepat, belum lagi dialeg Busan yang kadang orang korea (Seoul) pun nggak ngerti artinya apa. Untung saja kelas ini di tengah semester di isi dengan Im Kwon Taek Masterclass. Bersama lima orang teman tergabung di kelompok tiga (Naeng Jeong Blues) dan memproduksi film pendek adaptasi dari sebuah novel, To Be or Not To Be. Dari awal aku udah kesulitan karena novel itu berbahasa korea. Di proses script development kalo teman yang lain pegang naskah, aku pegang kamus Indonesia-Korea keluaran Pusat Studi Korea UGM. Shoting menyenangkan, bonus salah casting. Pemain tiba-tiba saja potong rambut setelah hari pertama dari tiga hari shoting yang di jadwalkan. Aku yang di produksi ini ada di departemen sinematografi senyum-senyum aja di saat yang lain marah-marah pasca peristiwa rambut itu. Hasilnya tidak terlalu menyenangkan, tapi proses yang sangat penting.

Cinematography
Agak belajar banyak di kelas ini mulai dari kamera 16mm sampai Camera Language. Walaupun ujian akhir semester kelas ini sedikit aneh. Tanpa di kasih tahu sebelumnya tiba-tiba saja sudah diberi jatah filmstock 16mm 400 feet. Harus menulis cerita saat itu juga dan shoting saat itu juga di studio. Mungkin karena aku masih eman-eman aja liat filmstock yang digunakan asal-asalan. Akhirnya di kelas ini untuk ujian aku bikin film pendek berjudul Kom (Dream). Hasilnya tidak cukup bagus karena kameramen yang selalu out focus dan dosen yang salah format ratio waktu telecine.

Digital Film Workshop
Kelas dengan kelompok yang paling menyenangkan. Ini satu-satunya kelas mahasiswa tahun kedua yang aku ambil. Dari awal kelompokku udah terlihat asyik. Di tugas pertama aku bikin scene pembunuhan yang jadi tugas terbaik. Trus aku sempet ninggalin kelompok ini saat mereka ada openclass selama dua hari di pedesaan dan aku harus ke Jeonju Film Festival. Lalu di tugas akhir semester membuat film pendek dengan judul Balkan Gudu (The Red Shoes). Ceritanya simpel, tentang seorang perempuan ABG yang tiba-tiba saja sepatu hak tinggi-nya jadi berasa sakit setelah cintanya ditolak. Tugasnya adalah bagaimana menggambarkan bahwa sakit yang dirasakan gadis itu ada di di kaki dan hatinya. Aku yang jadi kameramen cukup terbilang sukses di kelas ini. Hasil filmnya lumayan, tapi semua temen-temen kelompokku jadi terlihat lemas karena ada masalah teknis di sound ruang screening saat pemutaran.

Directing
Di kelas ini aku belajar banyak tentang adaptasi. Mulai adaptasi dari berita di koran, artikel di majalah, foto sampai judul lagu. Setiap minggu harus mempresentasikan cerita hasil adaptasi. Adaptasi dan remake memang cara yang cukup populer untuk nelajar film disini. Sebelum membuat film sendiri, beberapa kali ada tugas untuk re-make beberapa scene dari film yang udah ada. Aku membayangkan seperti band yang membawakan lagu orang lain terlebih dahulu sebelum mereka menciptakan lagu sendiri. Di akhir semester masing-masing diberi tugas personal. Tugas akhir semester berupa film essay tentang emosi. Aku membuat film tentang perasaan kangen terhadap keluarga. Konsepnya apa yang aku lihat disini beda dengan apa yang aku dengar. Aku melihat Korea, tapi yang ada di telingaku adalah suara-suara di Indonesia. Sebenernya hasil filmnya biasa, hanya beberapa stok gambar di korea yang aku beri ilustrasi musik dan suara-suara kedua keponakanku (Adam dan Dinda) yang sedang belajar membaca dan menyanyi. Tapi berhasil menjadi tugas terbaik dan dengan sukses membuat beberapa orang menangis pada saat pemutaran tugas di ruang screening.

13 May 2008

HUBERT BALS SUPPORT PROJECT "RUMAH DAN MUSIM HUJAN"


Ada kabar bagus saat saya berada di Jeonju Film Festival. Beberapa hari selama disana saya menempati sebuah kamar hotel yang sangat mewah tapi tanpa koneksi internet. Dan hal terbodoh yang saya lakukan adalah saat saya memutuskan untuk tidak membawa laptop. Saya pikir saya hanya pergi ke sebuah kota di sebelah Busan, seperti dari Jogja pergi ke Semarang, buat apa bawa laptop. Tapi hal itu yang menyiksa saya selama di Jeonju.

Malam terakhir saya dipindah ke sebuah kamar yang lebih kecil tapi berfasilitas komputer lengkap dengan koneksi internetnya. Dan di tengah malam saat saya kembali ke kamar, internet tersebut benar-benar membawa berita bagus. Sebuah email dari Hubert Bals Fund di International Film Festival Rotterdam. Mereka mengabarkan bahwa mereka telah memutuskan untuk mensupport project Rumah dan Musim Hujan dengan judul versi bahasa Inggris One Day When The Rain Falls.

The Hubert Bals Fund is designed to bring remarkable or urgent feature films and feature-length creative documentaries by innovative and talented filmmakers from developing countries closer to completion. The HBF provides grants that often turn out to play a crucial role in enabling these filmmakers to realize their projects.


Although the Fund looks closely at the financial aspects of a project, the decisive factors remain its content and artistic value. Since the Fund started in 1988, close to 600 projects from independent filmmakers in Asia, the Middle East, Eastern Europe, Africa and Latin America have received support. Approximately 80% of these projects have been realised or are currently in production. Every year, the IFFR screens completed films supported by the Fund.

Begitulah yang tertulis di website mereka.

Hal yang membuat lebih menyenangkan adalah pagi harinya. Saya agak terlambat untuk sarapan di restaurant hotel. Sarapan adalah salah satu waktu yang tepat untuk bertemu dengan tamu festival yang lain. Di sebuah meja sudah ada John Torres (Filipina), Israel dan Laura Cardenas (pasangan sutradara suami-istri dari Meksiko), Mathias (Argentina). Saya yang duduk sambil senyum-senyum langsung ditanya oleh Israel, "Kenapa senyum-senyum?". Saya hanya bilang, "Maaf kalo kamu akan lihat saya senyum-seyum seharian ini, saya dapet Hubert Bals!". Mereka mereka langsung teriak "Haaah!! Israel dan Laura juga dapet!! di email semalam.." Semua yang ada di meja itu langsung tertawa ngakak. Dan hal yang lebih menyenangkan lagi, malamnya saat Closing Ceremony, film John Torres berikutnya juga mendapatkan support funding juga dari program "Work in Progress" di Jeonju, film Mathias juga mendapatkan film terbaik di sesi kompetisi international. Ternyata meja yang digunakan untuk sarapan di pagi hari itu penuh dengan kemenangan. Dan sangat menyenangkan untuk berbagi kebahagiaan bersama.

29 April 2008

9808, PROJECT MELAWAN LUPA

Sebulan setelah sampai di Korea, beberapa teman pembuat film di Indonesia mempunyai inisiatif untuk berbuat sesuatu di tahun 2008 dalam rangka sepuluh tahun setelah peristiwa Mei 1998. Saya langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang karena buat saya sangatlah menyenangkan melakukan hal yang positif bersama-sama, apapun itu. Beberapa bulan kemudian, jadilah Huan Chen Guang untuk project ini. Film ini lahir karena saya harus berada di sebuah ruang yang baru dan sangat asing saat mencoba mengingat-ingat lagi tentang peristiwa Mei '98. Sepuluh tahun setelah peristiwa itu, saya berada di sebuah negara yang bahkan mempunyai huruf yang tidak mampu saya baca pada waktu itu, saya hidup di sebuah asrama yang katanya international tapi 90 persen dari mereka yang tinggal disini adalah warga Cina, dan banyak hal yang baru lainnya. Hal tersebut yang menjadikan Huan Chen Guang akhirnya lahir untuk project ini. Mencoba menghubungkan dengan sebuah peristiwa di masa lalu dan sebuah peristiwa yang baru saya alami di masa kini.

Jika saja saya masih berada di Indonesia saat sepuluh tahun sejak peristiwa itu, tentu saya juga akan membuat hal yang berbeda. Dari sini saya belajar sedikit banyak tentang hubungan membuat film dan ruang si pembuat film. Saya sendiri mempunyai hubungan emosional yang sangat kuat dengan Mei 1998. Mungkin karena saya waktu itu sedang terlalu bersemangat untuk belajar menghadapi UMPTN sedangkan semua orang justru sibuk turun ke jalan dan membuat saya gagal mencapai lokasi try out karena terkena gas air mata tepat pagi hari setelah Moses Gatotkaca meninggal. Atau beberapa kali saya yang harusnya masih tidur tapi harus mengantar bapak ke kantor yang memutuskan tidak membawa motor karena sorenya pasti terjebak demo. Sebuah peristiwa yang asyik untuk seorang anak yang lulus SMA di tahun 1998. Setelah kenyataan mengharuskan bahwa sepuluh tahun setelah peristiwa itu saya harus tinggal di negara lain, jadilah Huan Chen Guang untuk project 9808 bersama 10 film pendek yang lain.

Click here for detail about 9808 project.

07 April 2008

INTERVIEW WITH HONGKONG BEATS MAGAZINE

BEATS is first and foremost a music magazine, with an eye and ear towards what's happening in dance clubs around the city. But it's much more than that. Beats is simply your monthly guide to entertainment. We'll tell you what's happening both locally and around the world when it comes to music, movies, DVDS, travel, books, food and more. We'll talk to the hottest emerging and established artists, whether they sing the songs, make the grooves, roll the cameras or act before your eyes. If something's happening in entertainment, we'll be sure to find out about it, because we want you to know too.

Beats Magazine (BM) : Describe your piece, Half Teaspoon, in your words?

Ifa Isfansyah (II) : Half Teaspoon is a pack of my dreams that I wish to never come true. A dream of sip in a mixture of three teaspoon coffee and half teaspoon sugar, a dream of watch movie in cheap theater, a dream of being unfaithful to my lover, a dream of take a bus to travel everywhere.

BM : What were the inspirations for the ideas of your piece?

II : In the beginning, I just want to make a boringness movie that make audience keep watching untill the end of my movie. I don’t know what kind of a movie that I want to make, what kind of a boringness that I want to create. A boringness is always identically with something not interesting. People always try and try to escape if they feel boring. What will happen if we face that feeling? Half Teaspoon start from that point.

BM : How was the process of turning this idea in your head into an actual media form?

II : I more often to come to the painting/photography exebithion. I still didn’t know why people can enjoy and see the static picture for a long time. Normally, people can enjoy the painting/picture not longer that 1 minute and leave it. But someday, I found someone who stand and watch one picture for 30 minutes. I don’t know what he’s thingking about? What will he get if watch the picture for 30 minutes? Why he decide to leave that picture after 30 minute? I want to know the answer of all my question. So, I try to watch the same picture for 30 minutes, but I feel so boring in 5 minutes. After 5 minutes, I get more visual experience. But the most important is I get more psychologycally experiece : the first one minute I feel something beautiful, next two minutes I feel so lonely, next one minute I feel boring and the last one minute I missing someone. From that point, I want to create Half Teaspoon like a painting or photography exebithion and have a story inside. I want my boringness stock was empty before start to shot Half Teaspoon, just for one mission : a comfortable borringness.

BM : Toughest part of the process?

II : I have two toughest part and both have a relation. First, I feel difficult to direct and explain my concept to my actor/actress. Because all of them is our parents. The Husband (played by Suhartono) is my father, The Wife (played by Titi Dibyo) is my cinematographer’s mother and The Bus Driver (played by Suparwoto) in my editor’s father. Especially my father, he like my previous movie very much (Be Quiet, Exam is in Progress!) and that movie have a different style with Half Teaspoon. Maybe he feel confuse when realise what kind of a movie that I will make in Half Teaspoon. Finally, I just say to them : play your role untill you feel so boring, if you start to feel boring just raise your hand..i will say cut. In one short scene in this film, I can have a 10-15 minutes footage. That’s why I have length feature film in the first draft of editing, 72 minutes. That’s mean also I have second toughest part. I like the first version, I really feel boring when I watched, but I also feel uncomfortable, I didn’t want it. I cut and cut again untill I have 18 minutes version. In this part, the story was change and very different with the script that we use for shooting. But, that is filmmaking and I like it.

BM : What's next after you've won the IFVA?

II : First, I must finish my scholarship program in Pusan, South Korea, and also prepare for my first length-feature film, One Day When The Rain Falls. I make my first feature with Fourcolours Films and still looking for any kind of co-production or funding. I also co-founded the Jogja-Netpac Asian Film Festival and this year on progress for the 3rd round. This year, I also start to developed a new distribution system in Indonesia, KoperasiFilm.com, a project that aims to establish an online archive and store so that Indonesian independent films may be appreciated in a larger scale.

BM : Last question, describe about yourself?

II : I was born, grew up and spend my whole life in Jogjakarta, Indonesia, the city that I love it very much. I founding Fourcolours Films in my hometown and has been actively producing short films. I was just an ordinary boy next door before I started making film. I suddenly have a particular weight that I have to carry along because I started it all in the city where there was no such thing before. Now I’m living in Pusan South Korea for one and a half year. Leaving all that I love in my hometown just to learn, improve and enhance what I’ve chose; filmmaking.

24 March 2008

DIRECTOR AND MONITOR

Beberapa bulan terakhir ini saya sedang tidak percaya dengan sebuah monitor saat produksi. Film saya yang terakhir saya selesaikan tanpa melihat monitor. Beberapa kali mengerjakan tugas penyutradaraan di kampus, saya juga mengabaikan monitor. Saya merasa lebih nyaman untuk mengoreksi acting pemain saya langsung dari sebelah kamera, dengan cara ini juga menuntut saya menjadi lebih percaya dengan kameramen saya. Mungkin hanya karena saya sedang belajar fokus pada sebuah acting, bukan pada mise en scene seperti biasanya. Ditambah juga saya sedang tidak harus mempertanggungjawabkan apa yang saya kerjaankan kepada orang lain.

Cara yang sedang saya gemari ini jelas bukan sebuah cara yang baru, justru cara yang sangat klasik yang selalu dilakukan oleh semua sutradara jaman sebelum ditemukan video sender untuk mengantarkan gambar dari kamera ke sebuah monitor. Karena itulah setiap ada kesempatan bertemu sutradara generasi tua (yang sempat melewati jaman belum bisa memakai monitor), saya pasti tergoda untuk menanyakan hubungan director dan monitor ini. Senin (24/3) kemaren saya kembali berkesempatan bertemu Im Kwon Taek saat kuliah.

Ifa Isfansyah : Dimanakah posisi anda saat menyutradarai film?

Im Kwon Taek : Sebanyak 69 judul film saya selesaikan dengan hanya berada di sebelah kamera, selebihnya (31 judul) saya selesaikan dengan sesekali melihat monitor karena sudah ditemukan fasilitas itu. Saya akui monitor memang sebuah alat yang efektif untuk seorang sutradara mengoreksi gambar. Tapi saya tidak terlalu percaya dengan apa yang saya lihat di monitor. Saya lebih percaya dengan apa yang saya lihat langsung dengan mata saya. Pertanyaan bagus.

26 February 2008

MEMBUNUH (WAKTU) KOREA

Liburan musim dingin benar-benar sangat lama. Setelah stock rasa kesepian saya sudah habis beberapa bulan yang lalu, sekarang giliran stock rasa bosan saya yang habis. Benar-benar sudah tidak bisa lagi merasakan bagaimana rasa bosan itu. Akhirnya (waktu) Korea benar-benar berhasil saya bunuh dengan sebuah kegiatan yang mempesona : menulis buku.

Ya, saya menulis sebuah buku dengan judul yang sangat dahsyat : JADILAH SUTRADARA FILM : SEBUAH PANDUAN UNTUK GENERASI PENERUS PERFILMAN INDONESIA. Hahahahaha…Sebuah judul yang sangat sombong!!! Saya suka!! Alhamdulillah, akhirnya saya sombong. Mudah-mudahan kalo sudah cetak nanti bisa selesai dibaca sambil cengar cengir oleh para generasi penerus perfilman Indonesia yang sekarang mungkin masih SMP/SMA.

Tak kasih bocorannya :

SEBELUM MEMBUAT FILM
Jangan terburu-buru membuat film. Yang terpenting adalah kamu tahu dan sadar bahwa kamu ingin menjadi seorang sutradara. Memang benar untuk bisa disebut sutradara adalah kita harus membuat film. Tapi film hanyalah media dan pilihan untuk menyampaikan apa yang kamu tahu dan ada di kepalamu, jadi kalo kamu tidak tahu apa-apa filmmu juga nanti tidak akan berarti apa-apa. Yang harus kamu lakukan pertama kali adalah bahwa kamu harus yakin suatu saat nanti kamu akan menjadi seorang sutradara besar. Mulai sekarang, apa yang kamu lakukan adalah perjalanan hidupmu untuk meraih impianmu itu. Semakin kontroversial, kisah perjalanan hidupmu menuju sutradara semakin menarik. Kamu harus sadari itu. Sabar dulu, jangan terburu-buru membuat film. Karena film pertama itu sangat penting untuk orang menjadi tahu siapa dirimu. Sekarang beraktifitaslah seperti biasa, hanya saja dalam sebuah kesadaran bahwa suatu saat nanti kamu akan menjadi seorang sutradara.

Kamu bisa buktikan ini. Carilah tahu siapa Steven Spielberg dulu pada waktu remaja, siapa Jean-Luc Godard pada saat SMP. Siapa Garin Nugroho pada waktu masih hidup di Jogja. Tidak ada yang langsung membuat film. Garin Nugroho saat di Jogja adalah………………………………………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………….........
...................................................................................................................................................................
Langkah ke-13 : Nonton Film Jelek
Jangan anggap remeh langkah ini. Paksa mata dan hatimu untuk menonton film jelek hingga selesai, ini sangat penting. Mintalah referensi film jelek kepada temanmu. Atau mintalah reverensi film bagus kepada temanmu yang selera filmnya berbeda dengan kamu. Saya tidak akan menyarankan kamu untuk menonton film bagus, karena kamu pasti sudah melakukan tanpa saya sarankan. Tapi sekali lagi saya mohon, tontonlah film jelek. Saya tidak perlu kasih referensi disini, banyak sekali film jelek di Indonesia dan manfaatkanlah itu menjadi sebuah kelebihan. Dan yang paling penting adalah paksa dirimu menonton hingga film itu selesai.

Dalam menonton jadikanlah dirimu benar-benar sebagai penonton. Bukan kritikus atau bahkan pembuat film. Harus menonton dan dengan iklas menerima apa yang ada film itu. Jangan biarkan otakmu ataupun mulutmu mengejek film itu atau bahkan menjelek-jelekkan film itu kepada orang lain. Tapi terimalah film itu dengan iklas setelah selesai menonton, jangan ucapkan sepatah katapun. Ini pekerjaan susah, ini tantangan. Kalopun kamu liat sebuah film horor yang setannya pake celana jeans, kamu harus diam. Kalopun kamu liat film tentang anak SMP tapi aktornya kumisan, kamu harus diam. Jangan ketawa!!! Ketawa itu artinya mengejek di permainan ini, kamu kalah kalo tertawa. Begitu seterusnya. Dan kalopun kamu ketahuan temanmu bahwa kamu menonton film yang masya Allah jelek itu, jangan malu. Cukup senyum saja bila di tanya. Ingat, ini latihan, jangan menjelek-jelekkan film orang lain walaupun setelah itu kamu muntah di kamarmu. Kalopun kamu benar-benar tidak bisa diam dan ingin mengeluarkan sesuatu yang ada di pikiranmu setelah menonton, maka catatlah. Kamu masih punya catatan kecil di sakumu. Yang perlu kamu lakukan adalah ingat baik-baik nama sutradara film itu. Sesuatu yang harus kamu pelajari dari kasus ini adalah bahwa suatu saat nanti kamu sangat mungkin membuat sebuah film yang jelek. Padahal kamu sudah berusaha sebaik mungkin tapi filmmu tetep saja jelek, ini sangat mungkin terjadi. Segeralah tebus kesalahanmu itu dengan membuat film bagus. Kalopun kamu akhirnya menjadi seorang sutradara yang membuat film setan bercelana jeans itu, paling tidak kamu tidak menjelek-jelekkan film orang lain. Ini penting.

Langkah ke-14 : Olah Raga
Nah, kamu butuh olah raga. Paling tidak setelah kamu meluangkan waktu untuk menonton TVRI di langkah ke-12 dan dengan sukses menonton film jelek di langkah ke-13, pasti kamu mengalami kondisi stress yang berlebih. Maka berolah ragalah agar pikiranmu tenang. Bisa jadi kamu mengalami kondisi kejiwaan yang parah setelah menonton dua hal tersebut dan mengalami emosi yang sangat luar biasa, ingin membanting TV, ingin menjungkir balikkan tempat tidur sampai ingin melempari kaca kantor PH yang memproduksi film tersebut. Percayalah, dengan berolah raga akan mengalihkan semua energi emosimu. Kamu akan merasa segar kembali untuk melaksanakan aktifitas yang lain berhubungan menyiapkan fisik dan mentalmu untuk menjadi seorang sutradara besar.

Pilihlah olah raga yang kamu suka. Mulai dari bermain basket, sepak bola sampai lari-lari kecil di halaman depan. Tapi saya sarankan untuk berlatih berenang, jangan takut air. Jangan sampai kamu yang tidak bisa berenang dan takut melihat air suatu saat nanti ingin membuat film dengan judul Air Merah. Jangan sampai itu terjadi dengan kamu, kamu harus dekat dengan space yang ada di filmmu. Belajarlah berenang jika kamu besok suatu saat punya keinginan membuat film tentang air, ini investasi. Banyak sekali sutradara yang tidak bisa bermain bola tapi membuat film tentang sepak bola atau tidak pernah naik kereta api tapi suka dengan setting kereta api yang katanya alat transportasi paling romatis. Kamu harus menjadi sutradara yang dekat dan paham betul dengan sesuatu yang kamu kerjakan.

Kalo kamu tipe orang yang alergi olah raga, maka jangan lakukan dulu langkah ke-12 dan 13, berbahaya..
………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………….......................................................................................
Langkah ke-24 : Kenali Agamamu
Mungkin terdengar aneh dan tiba-tiba menjadi sok moralis dan religius. Tapi ini benar dan tidak salah cetak, kenalilah agamamu! Bagaimanapun agama itu penting. Paling tidak kamu harus tahu seperti apa agamamu itu mengatur hidupmu. Apa yang dilarang oleh agamamu, apa yang dianjurkan oleh agamamu. Yang islam pergilah ke masjid, yang katolik atau kristen pergilah ke gereja, demikian juga agama yang lain. Minimal kamu tahu dasar-dasar ajaran agamamu. Kalopun ada sesuatu yang kamu tidak setuju tentang apa yang diajarkan di dalam agamamu, tanyakan ke yang lebih tahu. Cobalah baca kitabmu, cari tahu apa yang ada disana.
Selain itu, kamu juga boleh untuk mencoba mengerti apa yang diajarkan agama lain, bahkan kamu sangat boleh untuka membandingkan. Cobalah temui temanmu yang mengerti agama lain. Ajaklah berdiskusi. Jangan berdebat dan kemudian saling membenci agama masing-masing. Agama adalah masalah sensitif, tapi jadikanlah ini menjadi ringan. Bicarakan agama dengan temanmu seperti kamu membicarakan masalahmu dengan pacarmu. Dan sadari betul bahwa ini kamu lakukan bukan untuk menjadi ahli agama, tapi untuk menjadi seorang sutradara. Kalo kamu temukan sesuatu yang menarik di agamamu atau agama orang lain, catat. Kamu masih mempunyai catatan kecil rahasia kita kan di sakumu?

Kalo kebetulan kamu orang yang tidak percaya dengan agama dan memutuskan untuk tidak memiliki agama, itu tidak masalah. Yang harus kamu lakukan adalah temukan alasan kenapa kamu menjauhi agama. Argumenmu harus lebih kuat daripada apa yang ada di agama itu sendiri. Kamu adalah calon sutradara, calon pemimpin. Apa yang kamu lakukan bisa jadi dilakukan oleh orang lain. Makanya kamu harus selalu punya alasan yang orang lain bisa mengerti.

Langkah ke-25 : Nongkrong di Lokalisasi
Sekarang kamu boleh jalan-jalan ataupun sekedar duduk di daerah yang tidak moralis, carilah lokalisasi terdekat di kotamu. Kamu kan sudah belajar tentang agama sebelumnya, jadi langkah ini aman untuk dijalani. Saya sarankan untuk lebih aman lagi, jangan bawa uang. Di lokalisasi ini semuanya sangat filmis. Kamu harus bisa tangkap itu. Bagaimana dialog-dialog antara pedagang dan konsumen sangat menarik, atau bahkan sekedar cara mereka menawarkan dagangan. Bersikaplah seperti orang biasa, jangan tegang dan jangan mencatat di tempat itu juga. Kamu harus gunakan daya ingatmu dengan baik di sini. Kalo kamu temukan yang menarik, kamu catat setelah kamu keluar dari daerah itu.

Kemungkinan terburuk adalah kamu bertemu dengan tetanggamu. Dan saya kembali menyarankan, jawablah dengan jawaban seperti yang teman-teman di usiamu lakukan, seperti “sedang penelitian” atau “lagi jadi volunter sebuah LSM”. Jangan karena saking paniknya kamu jawab “lagi refreshing” seperti yang saya lakukan dulu. Itu bisa menyebabkan salah paham yang berkepanjangan. Atau juga jangan kamu jawab dengan jujur “saya kan mau jadi sutradara, jadi harus ke lokalisasi”, itu juga terdengar aneh. Kamu harus sadar bahwa calon profesimu itu beda dengan profesi-profesi yang lain. Jadi masih terdengar aneh jika ada orang mau jadi sutradara. Selain karena langkah ini juga bukan langkah wajib, ini langkah pilihan, tapi penting.

Yang perlu kamu lakukan adalah berada di tempat itu, merasakan dan melihat apa yang sebenarnya terjadi disana. Bagaimana mereka menjalani pekerjaan mereka. Lebih baik lagi kalo kamu bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Sebelum ini mungkin kamu merasa bahwa lokalisasi adalah sebuah tempat yang penuh dengan dosa dan hal-hal negatif lainnya. Tapi kamu akan menjadi tahu bahwa disana penuh juga dengan kesedihan, keputusasaan, penyesalan, rasa takut dan keterpaksaan di balik kedipan mata mereka.
………………………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………........................................................................................................

JALAN-JALAN DENGAN FILMMU

Langkah berikutnya adalah langkah yang paling asyik dan menyenangkan, tour with your film. Intinya adalah sebuah film harus di tonton. Jadi mulailah jalan-jalan dengan filmmu. Kemanapun kamu pergi, pastikan di dalam tas membawa DVD filmu. Kalo ada kesempatan bertemu dengan orang yang layak untuk kamu beri, berikanlah. Tapi pakailah strategi. Kamu harus dikenal sebagai sutradara, bukan sales DVD. Jadi tetaplah punya harga diri sebagai seorang seutradara, tidak asal ketemu dan langsung memberi film seperti seorang mahasiswa sekolah film pada umumnya. Ingat, sutradara bukan mahasiswa sekolah film.

Festival
Festival adalah cara yang paling tepat. Di acara inilah pestanya para orang film. Cari tahulah festival-festival yang penting untuk perjalanan karirmu. Baik di dalam negeri ataupun luar negeri. Jika di ibaratkan bahwa sebuah festival adalah perjalanan karirmu sebagai seorang pembuat film, maka jangan mulailah dari atas. Hindari dulu festival-festival kelas A. Carilah dulu festival yang paling dekat dengan lingkunganmu. Kalo memang di tingkat RT rumahmu ada festival film, daftarkan filmu. Pokoknya mulailah dari yang paling bawah. Daftarkan filmmu ke festival film yang ada di Indonesia. Manfaatkanlah internet, carilah dari situ.
Banyak pembuat film yang mengikutkan filmnya ke sebuah festival untuk mencari kemenangan, kamu jangan lakukan ini. Ikutkanlah sebuah festival film agar filmmu di tonton orang dan di apresiasi di sebuah tempat yang tepat. Kemenangan? Itu bonus, bukan tujuan. Jika filmmu berhasil diputar di sebuah festival maka hadiri festival itu dengan senjatamu : DVD yang ada di tasmu. Siapa tahu di festival itu kamu akan bertemu orang yang kamu anggap harus melihat filmmu. Minimal tulislah nama judul film dan alamat email di DVD filmmu. Kalo memang dirasa perlu buatlah kartunama dan cantumkan pekerjaanmu : filmmaker.
Dibawah ini saya catat beberapa sebab kenapa pembuat film tidak mengirimkan filmnya ke festival :
1. Tidak tahu informasi mengenai festival film.
Filmmaker yang mempunyai alasan seperti ini termasuk dalam kategori susah untuk di tolong karena termasuk seorang filmmaker yang malas. Informasi tentang festival film jelas tersebar luas di internet. Salah satu cara selain mencari sendiri di internet adalah dengan cara ikut milis yang berhubungan dengan film seperti dunia film, indomovie, konfiden, indonesian filmmaker dsb. Di milis itu banyak informasi tentang sebuah festival film. Atau bisa bisa masuk : filmfestivalworld.com. Bisa juga menjadi member shortfilmdepot.com atau reelport.com. Di beberapa website itu banyak sekali informasi tentang festival film.

2. Terlalu banyak informasi sehingga tidak tahu festival mana yang akan diikuti.
Ini alasan yang sangat logis. Banyak sekali festival film di dunia ini. Tapi paling tidak bisa dimulai dari yang paling dekat. Di Indonesia ada festival film pendek yang diselenggarakan oleh Konfiden (Komunitas Film Independen), daftarkan filmmu dan hadiri festival itu. Kalo kamu berasal dari luar Jakarta dan kebetulan punya uang cukup, naiklah kereta ekonomi. Ingat perjalananmu akan semakin menarik menjadi biografi jika nanti kamu menjadi seorang sutradara besar. Selain itu banyak juga festival yang lain seperti Mafvie Fest di Malang, Jember Film Festival, Festival Film Dokumenter di Jogja, Ok Video, Hello Fest dan banyak lagi. Ingat, jangan mengikutkan sebuah film di festival untuk mencari kemenangan.
Setelah kamu puas filmmu jalan-jalan di dalam negeri, cari tahulah festival-festival yang ada di luar negeri. Jangan dulu festival kelas A seperti Berlin, Venice ataupun Cannes. Mulailah dari yang paling dekat seperti Singapore Int’l Film Festival atau Cinemanila Film Festival. Setelah itu kamu bisa mencoba ke festival seperti Pusan Int’l Film Festival, International Film Festival Rotterdam, Short-Short Film Festival di Tokyo, Clermont-Ferrand Short Film Festival, Hamburg Int’l Short Film Festival atau Oberhousen Short Film Festival. Kalo sudah berhasil diputar di beberapa festival seperti ini, biasanya filmmu akan jalan-jalan dengan sendirinya. Kamu hanya tinggal membuka email untuk mengecek programmer-programmer yang meminta filmmu.

3. Mahal
Iya, memang mahal untuk mengirim DVD preview copy dari Indonesia ke sebuah festival di luar negeri. Beberapa solusi yang saya lakukan adalah : Titip. Biasanya dari Indonesia pasti ada yang berangkat ke sebuah festival penting di luar negeri. Carilah informasi itu dan titipkan film kamu. Kalo kamu ingin menjadi seorang penitip yang tidak bertanggung jawab ya titiplah begitu saja. Tapi kalo kamu ingin menjadi penitip yang sedikit bertanggung jawab, bukalah website festival yang akan di datangi orang yang kamu titipi itu. Carilah guest list yang ada di website itu dan catatlah nama dan hotel tempat menginap tamu tersebut. Setelah itu kamu bisa siapkan amplop-amplop berisi filmmu yang sudah tertata rapi berdasarkan hotel tempat tamu itu menginap. Atau berikanlah filmmu dan percayakan bahwa filmmu akan diberikan kepada programmer yang hadir di festival itu. Cara yang lain adalah dengan mengajak teman untuk mendaftarkan ke sebuah festival yang sama. Semakin banyak teman yang bisa kamu ajak, maka biaya pengiriman akan jauh lebih murah.

4. Mutung
Apa sih bahasa Indonesianya? Tapi mutung adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan sebab ini. Ini adalah sebab psikologis seseorang tidak mengirimkan filmnya ke sebuah festival. Biasanya filmmaker yang seperti ini mendaftarkan filmnya di sebuah festival untuk mencari kemenangan. Di saat filmnya ternyata tidak menang ia menjadi mutung untuk mengikutkan filmnya ke sebuah festival film yang lain. Bahakan parahnya lagi filmmaker seperti ini biasanya terus memusuhi sebuah festival film. Hanya doa dan bujukan pacar yang bisa menyelesaikan masalah ini.

Ada yang penting juga, carilah festival yang bisa memberi tiket jika filmmu berhasil diputar seperti : Short-Short Film Festival di Jepang, Almaty Int’l Film Festival di Kazakhstan, Hongkong Independent Film-Video Award dan masih banyak lagi. Begitu kamu ada kesempatan ke luar negeri, bawalah senjatamu : DVD, kartunama dan broken englishmu. Jadilah Sutradara!

Bersahabat dengan Programer
Profesi ini mungkin belum di kenal di negara kita. Tapi seorang programmer adalah jabatan yang sangat penting dalam sebuah festival. Dia lah yang akan memilih film-film yang akan diputar di festivalnya. Kalo kamu merasa bahwa festival ada;ah jenjang karirmu, maka bersahabatlah dengan programmer. Jangan ada niatan untuk mendekati programmer karena agar filmmu diputar, tidak sama sekali. Tapi bersahabatlah seperti kamu bersahabat dengan temanmu yang lain. Berperilakulah seperti biasa. Pastikan dia memiliki filmu dan menonton, dan bersikaplah seperti layaknya seorang teman kerja atau teman main, jangan ada tendensi apa-apa.
Karena semakin kamu mengenal………………………………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………………………………………

Demikianlah cuplikan (3%) dari buku “sombong” yang saya tulis untuk membunuh (waktu) Korea. Kabar buruknya adalah saya tidak tahu kapan buku ini akan terbit. Saya juga tidak tahu apakah ada penerbit yang tertarik. Dan saya juga tidak tahu kapan saya punya uang untuk menerbitkan buku ini sendiri. Yah..maklum, orang sombong yang masih pemula. Sombong tapi gak ada modal. Mungkin saya akan lebih belajar lagi untuk lebih menjadi sombong yang bertanggung jawab, maksudnya sombong yang dibarengi dengan kekuatan modal. Amin.

06 February 2008

SETENGAH SENDOK TEH : CATATAN SUTRADARA

(Saya tulis dua hari setelah menyelesaikan editing Setengah Sendok Teh)

Ide awalnya saya ingin membuat film yang membosankan tapi penonton tetap bertahan duduk dan menikmati film saya sampai selesai. Saya belum juga tahu film seperti apa yang ingin saya buat, kebosanan seperti apa yang ingin saya sampaikan. Perasaan bosan memang selalu identik dengan sesuatu yang harus dihindari. Begitu merasa bosan kita langung mencari solusi agar kebosanan itu hilang. Bagaimanakah jika kebosanan itu kita hadapi atau bahkan kita nikmati, apa yang akan terjadi? dari sinilah Setengah Sendok Teh berangkat.

Beberapa bulan kemudian saya sering lebih meluangkan waktu untuk melihat pameran foto ataupun lukisan di Jogja. Saya sebenarnya sampai sekarang saya tidak begitu tahu kenapa seseorang bisa menikmati sebuah karya lukisan ataupun foto dalam waktu yang relatif lama. Karya itu adalah karya statis dan sama sekali tidak bergerak. Bagaimana cara menikmati selain hanya dengan melihat dan menyimpan visual tersebut di dalam memori kepala kita. Pertanyaan tersebut membuat saya lebih sering datang ke sebuah pameran, tidak hanya untuk melihat karya yang dipamerkan tapi untuk mengamati orang yang datang melihat pameran. Dari pengamatan saya, setiap orang hanya berdiri di depan sebuah karya foto atau lukisan selama 5-10 detik, memutari seluruh karya dan keluar. Sesekali mereka bercakap-cakap (baca : berdiskusi) dengan teman mengenai karya yang baru saja dilihat. Sampai suatu hari saya menemukan seseorang yang berdiri menikmati karya sebuah foto sampai 30 menit. Apa yang dia lihat? Apa yang dia pikirkan? Apa yang dia dapat? Dan kenapa di menit ke 30 dia memutuskan untuk pergi? Saya ingin tahu jawaban dari semua pertanyaan saya itu.

Saya mencoba mengamati foto yang sama. Lima menit saya sudah bosan dan keluar. Selama lima menit tersebut kemudian saya kembali berpikir apa yang saya dapat. Banyak pengalaman visual yang saya dapatkan daripada saya hanya memandang foto tersebut selama lima detik. Saya jadi bisa tahu bahwa di sudut foto tersebut ada sebuah benda kecil berwarna merah yang saya tidak tahu itu apa, jumlah kursi di foto tersebut adalah 34 buah dan sebagainya dan sebagainya. Selain itu ada yang menurut saya lebih penting, Saya mendapatkan juga pengalaman psikologis yang berbeda dari sekedar saya melihat foto tersebut selama lima detik. Satu menit pertama saya merasakan sebuah keindahan, dua menit setelahnya saya merasa kesepian, satu menit kemudian saya merasakan kebosanan, menit terakhir saya merasakan kerinduan. Dari perasaan itu kemudian saya mendatangi lagi pameran yang sudah pernah saya datangi sebelumnya, mencoba menikmati dengan cara saya yang baru. Saya bisa bertahan hingga dua jam lebih dalam menikmati sebuah pameran dan mendapatkan pengalaman psikologis yang berbeda. Dari situlah saya menghabiskan perasaan bosan saya. Saya benar-benar ingin menjadi seseorang yang sudah tidak mempunyai stok bosan lagi sebelum saya memulai membuat Setengah Sendok Teh.

Dari situ lah Setengah Sendok Teh saya tulis. Saya ingin membuat sebuah film layaknya sebuah pameran foto ataupun lukisan. Gambar diam yang disusun menjadi sebuah film bercerita. Tujuannya hanya satu, kebosanan yang nyaman. Buat saya cerita yang ada di dalamnya bisa saya temukan nanti kapanpun. Menulis naskah film buat saya adalah sebuah perjalanan. Saya bisa saja mulai berjalan entah kemana dan tidak tahu kemana, karena saya hanya ingin berjalan. Tapi bisa saja saya menyiapkan segala sesuatunya dulu sampai benar-benar siap baru saya memulai sebuah perjalanan. Atau kadang di tengah perjalanan saya menemukan sebuah kompas ataupun peta yang membuat tujuan perjalanan kita semakin jelas mau kemana, bisa juga setelah saya terlalu lelah dengan perjalanan yang tidak tentu arah, memutuskan untuk berhenti, saya justru menemukan sebuah peta yang menunjukkan bahwa jalan yang saya tempuh ternyata salah sehingga saya harus mengulang darimana saya tadi mulai berjalan. Dan saya ibaratkan perjalanan itu tidak akan pernah selesai sampai film itu selesai.

Memulai proses Setengah Sendok Teh merupakan sebuah proses membuat film yang baru buat saya. Biasanya saya selalu mencari cerita terlebih dahulu kemudian setelah itu teknis pasti akan menyesuaikan cerita yang saya punya. Di Setengah Sendok Teh saya justru menemukan teknis yang akan saya pakai terlebih dahulu, cerita kemudian bisa menyesuaikan. Saya tidak begitu peduli dengan apakah itu benar atau salah karena apa yang saya rasakan ini benar-benar mengganggu pikiran saya sehingga harus di keluarkan.

Berbekal ingin membuat film dengan pola yang membosankan itulah kemudian saya berangkat. Kebosanan itu juga saya terapkan dalam memilih lokasi shoting maupun pemain. Pilihan-pilihan seperti lokasi bioskop, bis kota, rumah makan dan ruang tamu merupakan sebuah lokasi yang mengalami fase “hidup segan mati tak mau”. Semua pernah melewati masa kejayaan dan sampai sekarang masih tetap bertahan dalam kondisi yang kristis. Saya memutuskan untuk tidak begitu peduli dengan karakter, maksud saya disini adalah penonton tidak harus tahu detail tentang karakter di Setengah Sendok Teh, tidak harus tahu seperti apa wajahnya dan siapa namanya. Ini sebuah film yang lebih mengutamakan hubungan emosi antar ketiga tokoh, bukan karakter masing-masing tokoh. Karena itu saya selalu berusaha mengambil adegan dari jarak jauh.

Sangat sulit untuk menerapkan apa yang ada di kepala saya ini kepada para pemain. Semua pemain adalah orang tua para pembuat film ini. Tokoh Pria Ruang tamu adalah ayah saya, tokoh pria di dalam bus adalah ayah editor saya dan tokoh wanita penjaga bioskop adalah ibu kameramen saya. Ayah saya pada awalnya seperti tidak bisa memahami anaknya ingin membuat film yang seperti apa di Setengah Sendok Teh. Kebetulan beliau suka dengan film saya sebelumnya , Mayar dan Harap Tenang Ada ujian! Mungkin ada perasaan tidak rela anaknya membuat film serius semacam Setengah Sendok Teh. Saya hanya bilang kepada semua pemain, mainkan adegan yang ada di naskah ini selama mungkin sampai benar-benar merasa bosan. Kalo memang sudah tidak mampu lagi menahan kebosanan itu, silahkan tunjuk jari. Dalam satu scene yang pendek permainan bisa berlangsung selama 10-15 menit.

Shoting tidak ada masalah yang berarti karena semuanya sudah kita sepakati pada saat latihan. Kebosanan-kebosanan yang ditemukan pada saat latihan sudah diubah menjadi adegan yang nyaman. Hanya beberapa kru teknis yang sedikit terlihat kaget dan bertanya-tanya film seperti apakah yang sedang saya buat. Hampir semua kru sudah sangat terbiasa bekerja dengan saya yang tidak pernah membuat sesuatu yang aneh dimata mereka. Saya menambahkan adegan menyanyi di scene kamar hotel yang sekarang justru menjadi scene favorit saya di film ini. Saya selalu berusaha membuat adegan menyanyi di semua film saya mulai dari saya membuat Air Mata Surga, film pertama saya. Biasanya lagu yang dinyanyikan saya temukan di lokasi shoting. Dan juga televisi, saya suka bentuk dan suara televisi. Buat saya televisi adalah sebuah penemuan yang masih saya kagumi sampai detik ini. Saya menghormati itu dengan selalu berusaha menampilkan figure televisi di dalam film saya.

Versi awal editing keseluruhan Setengah Sendok Teh adalah 72 menit. Saya pernah memaksakan diri menonton versi itu sekali dan memang benar-benar bosan, tapi tidak nyaman. Beberapa adegan saya potong dan adegan yang tidak diperlukan saya buang. Jadilah versi 18 menit. Di editing inilah Setengah Sendok Teh mengalami perubahan cerita yang sangat besar. Naskah draft terakhir yang dipakai untuk shoting sangat berbeda dengan hasil akhir film ini. Dua belas scene yang ada di Setengah Sendok Teh menjadi berloncat-loncatan di saat editing, tapi saya suka draft terakhir versi 18 menit ini. Saya sangat tahu kalau saya sudah mengingkari konsep cerita atau bahkan konsep kebosanan yang ingin saya buat sejak awal, tapi memang seperti itulah perjalanan. Dan saya suka.

(Catatan saya untuk film Harap Tenang, Ada Ujian! bisa dibaca disini)

24 January 2008

CERITA NOMOR 7269

From: Nicholas Wu
To: isfansyah@yahoo.com
Sent: Wednesday, January 23, 2008 12:25:47 PM
Subject: RE: Song Permition


Dear Ifa Isfansyah,


Thank you for your email.
Regret to reply you that we don’t approve this kind of audio master request due to our company policy.

Considering that the charge will be over for your budget, we would suggest you considering of other options.

Thank you.


Best regards,

Nicholas Wu

SONY BMG MUSIC

ENTERTAINMENT ( TAIWAN ) LTD.

11 January 2008

SEOUL STORY

Minggu kemaren sempet liburan ke Seoul. Misi utama adalah lihat salju, megang-megang salju dan foto-foto di salju.



Indiestory, Mediact, Dinner dll.
Sempet mampir ke indiestory dan mediact. Nampang juga di depan NADA art cinema, Korea University dan Korea National University of Arts. Foto bersama Alex, Yuu Un Seong dan istri setelah diundang makan malam.
__________



Gyeongbokgung
Jalan-jalan di Gyeongbokgung. Daerah ini asyik banget, perpaduan antara bangunan-bangunan modern dan tradisional. Sempet nemu replika kucing kecil yang lucu yang dibawahnya ada sticker made in indonesia seharga 3000 won. Gyeongbokgung adalah bertemunya Kotagede dan Kemang.
__________


On Location
Sempet main ke lokasi shoting Antique, film baru yang di sutradarai oleh Min Gyu Dong (Memento Mori, My Lovely Week)
__________



3rd Cinemateque Friends Film Festival
Datang ke opening night Friends Film Festival di Seoul Cinemateque. Ketemu banyak banget sutradara disini, mulai dari Lee Myung Se (First Love, Bitter and Sweet, Duelist, M), Bae Chang Ho (My Heart, The Last Witness, Road), Park Chan Wook (Trilogy Vengeane, I'm Cyborg but thats ok), Hur Jin Ho (Chrismast in August, April Snow, Happiness). Walaupun udah stay cool, grogi juga nonton Sherlock Jr-nya Buster Keaton di depan Park Chan Wook. Sempat kenalan dan dua kalimat keluar dari mulutnya untukku "Anyong Haseo..Happy New Year!!"
__________


Ansan
Pusat TKI terbesar di Korea. Banyak banget warung Indonesia. Akhirnya makan gule, dapet teh sariwangi dan nonton sinetron di Indosiar juga setelah sekian lama memendam rindu.
__________


Korean Academy of Film Art
Bertemu teman-teman di KAFA untuk makan siang bersama Park Ki Yong (Motel Cactus, Camels).
__________


Foto Session
Foto Sesion sebelum potong rambut. In this picture : Jong Kwan, Ifa, Ju Yeong.
__________


Chonggyechon
Jalan-jalan ke sungai chonggyechon.
__________


Vincent Van Gogh
Untuk pertama kali dalam sejarah hidupku. Nonton Lukisan aslinya Van Gogh. Emang beda dengan yang ada di buku-buku atau internet. Walaupun tiketnya mahal, tapi Seoul National Museum ini tetap aja ramai banget.
__________


Seoul setelah aku pulang
Akhirnya setelah seminggu lebih di Seoul, tetap ada tidak ada salju. Harus pulang saat Nam memberi kabar bahwa ia harus pulang ke Vietnam karena beasiswanya sudah selesai. Setelah mengantar Nam ke bandara, membuka email, dan foto ini yang aku temukan. Ada tulisan broken inggris yang sangat khas darinya "Ifa..today snooooow!!! i just take picture in the front of my house!!!"

"Aaaaarrrrrgghhhhnsdfjnqspgkqpeot*&^khgkdusfh*(*((*&^%$&^@"