24 September 2007

INTERVIEW WITH KIM JONG KWAN

Kim Jong Kwan lahir di Seoul pada tahun 1975, lulus dari Seoul Institute of the Arts. Beberapa film pendeknya menang di festival film di Korea. Filmnya “Monoloque #01” berhasil masuk di sesi tiger competition untuk short film di Festival Film Roterdam 2007. Sekarang dia sedang mempersiapkan film panjang pertamanya, A boy.

Selected Filmografi :
1. Wounded (2002)
2. Tell Her I Love Her (2003)
3. How to Operate a Polaroid Camera (2004)
4. Slowly (2005)
5. Lonely Season (2006)
6. Monoloque #01 (2006)
7. Waiting (2007)

Berikut rangkuman pembicaraan saya dengan Kim Jong Kwan selama di Almaty dan Seoul, tentang dirinya dan film. Dia tidak bisa berbahasa Inggris dan saya tidak bisa berbahasa Korea.

Ifa (I) : Siapa Jong Kwan?
Jong Kwan (JK) : Jong Kwan adalah sutradara. Saya nggak suka disebut sutradara film pendek atau film panjang, film independen atau film dengan perusahaan besar, saya nggak begitu peduli. Karena saya sangat mencintai film, jadi sebut aja bahwa Jong Kwan adalah sutradara. Dua tahun yang lalu saya hanya ingin membuat film pendek dan saya suka sekali menyebut diri saya sutradara film pendek. Tapi setelah itu saya mulai ada keinginan bahwa saya harus membuat film panjang, walaupun saya tetap suka dan akan terus membuat film pendek.

I : Kapan ada keinginan membuat film panjang?
JK : Setetah nonton film “Nobody’s Knows”. Filmnya Kore-eda Hirokazu dari Jepang. Kamu juga harus nonton! (setelah itu Jong Kwan memberi saya DVD film itu, karena dia punya dua)

I : Mmh..Ok..Kamu sutradara yang bagaimana?
JK : Buat saya film adalah kebebasan, saya hanya ingin bebas berkarya. Dan yang terpenting terpenting dalam membuat film adalah Mind Set, cara berpikir kita. Saya nggak terlalu suka dengan teknis. Pada saat akan membuat film, hal yang penting dilakukan oleh sutradara adalah memilih kru. Pilihannya hanya baik dan buruk. Kalo baik kita ambil, yang buruk kita buang. Tapi baik dan buruk itu bukan teknis, tapi Mind Set, cara berpikir kru. Banyak Kru film di korea yang profesional secara jam terbang, tapi amatir secara cara berpikir, saya nggak suka. Dan dalam membuat film saya selalu membebaskan pemain saya, dan saya hanya menangkap emosinya, just catch the emotions! Maka dari itu saya harus percaya kepada pemain saya, dan pemain juga harus percaya pada saya. Begitu juga saya dengan kru. Kalo saya pikir baik, tapi kru (DOP dan Astrada) pikir yang saya lakukan tidak baik, akan saya buang. Saya sangat percaya kru yang saya pilih.

I : Tentang Film kamu?
JK : Beberapa film saya sangat personal. Kamu sudah liat sendiri “How to operate a polaroid camera”, “Lonely season”,”Good Bye”..dan film saya yang lain..beberapa sangat personal. Bahkan saya belum ijinkan kamu melihat film saya yang pertama, walaupun kamu udah memaksa aku sampai 7 kali selama di Almaty ataupun Seoul. Saya baru ijinkan kamu liat film itu setelah kita besok bertemu lagi. “How to operate a polaroid camera” itu cerita tentang frame pertama yang saya ambil, usiaku baru 5 tahun. Di foto itu adalah ayah dan ibuku. “Monologue #01” tentang pacarku dulu, tidak semuanya, hanya sebagian cerita. Saya pikir mood film saya nggak beda sama filmmu. Saya suka dan mengagumi sekali “half teaspoon”. Dari film itu saya merasa sangat mengerti arti film buat kamu, apalagi setelah saya tahu pemainnya adalah orang2 di sekitar kamu, bahkan ayah kamu. Dan kru adalah teman-teman kamu. Aku pikir film memiliki arti yang sama buat aku dan kamu.

I : Mungkin..Project selanjutnya?
JK : Dua tahun yang lalu saya kontrak dengan MK Pictures (sebuah perusahaan besar di korea, yang memproduksi Tae Guk Ki, dll) untuk sebuah film panjang pertama saya “A Boy”, tapi kondisi industry film korea sekarang sedang nggak bagus. Mungkin baru akan di produksi summer 2008, kemaren udah dapet support dari cinemart di Roterdam Festival 2007. Lalu MK minta saya untu membuat “A boy” menjadi low budget, saya nggak mau. Akhirnya saya menulis cerita lagi “memory” dan akan di produksi dengan HD kamera winter tahun ini. Beberapa perubahan harus dilakukan di script saya, saya lakukan karena tidak banyak perubahan dan saya masih ikhlas. Produser ingin mencari uang, saya harus merubah script untuk membuat lebih banyak uang. Saya mau melakukan selama saya masih bebas. Dua tahun yang lalu MK mengkontak saya pertama kali untuk menyutradarai “Ice Bar” (sebuah film di korea yang sudah release tahun lalu). Dan saya bilang nggak mau karena saya nggak suka scriptnya. Jadi saya akan menyelesaikan “Memory” Winter 2007 ini dan selanjutnya “A Boy” di Summer 2007.

CLOSING CEREMONY DAN AWARDING NIGHT

Presiden Festival ini nyanyi dengan berbagai generasi di Kazakhstan. Semua acaranya lipsing.

MALAM TERAKHIR

Dari kiri ke kanan. Berdiri : Kazbek dari Kazakhstan, Aku, Botagoz penerjemahku, Vitric dari Singapura, Jong Kwan dari Korea, Joseph dari Amerika. Jongkok : Uli dari Jerman, Ricardo dari Spanyol.

SALAH KOSTUM

Biasanya makan malam di ruang tertutup, jadi salah kostum dan paginya sakit.

ULANG TAHUN ASALI AISAMOV

Ulang tahun ke-70 Presiden Festival ini, yang juga aktor terkenal. Ulang tahun nggak ulang tahun ya sama saja, tiap kali makan ya kayak gini. Nari, Nyanyi, Sambutan. Gila-gilaan!

NEW CENTRO

Tugu pusat kota Almaty, mungkin.

AKU, VITRIC DAN JONG KWAN

Berfoto bersama saat bis satunya macet saat naik ke Cimbulak.

MAKE A WISH

Di New Centro. Kayak tugu tinggi banget di pusat kota Almaty. Dan kita bisa make a wish dengan menempelkan telapak tangan di sebuah hand print di bawah tugu itu. Mungkin karena inilah filmku nggak menang, karena disini make a wishku bukan pengen filmku menang.

MALAM DI KAZAKHSTAN

Ini hampir jam 20.00 waktu Kazakhstan.

NONTON BARENG TENTARA

Ini bukan wajib militer, tapi Wajin Nonton. Yang nonton semua tentara. Filmnya aku nggak tahu judulnya, bahasa kazakhstan dan nggak ada subtitle. Diputernya di bioskop satunya, namanya Americana. Film tribute untuk presiden festival ini. Aku ngantuk, tapi nggak berani tidur, takut di tembak.

CABLE CAR

Car itu mobil. Cable itu ya kabel. Jadi ini Mobil Kabel, mungkin karena jalannya pakai kabel. Kalo mobil yang biasa kita naikin itu namanya mobil roda.

CIMBULAK

Tempat ini di puncak gunung. Kalo winter penuh salju dan untuk ski, katanya. Kayaknya sih aku dulu pernah liat foto tempat ini di kalender.

SILK WAY CITY

Tempat pelaksanaan Festival. Bioskopnya di lantai 2 sebuah Mall. Ada 4 studio. Namanya Blue chmaber, red chamber, green chamber dan grey chamber. Masing-masing studio kapasitasnya cuma 99 orang.

DENGAN KURATOR

Ini foto dengan kurator Almaty Film Fest, Gunjal. Begitu tahu aku bawa bendera Indonesia, dia langsung nuduh aku sutradara Be quiet, exam is in progress! Dia bilang itu film yang paling dia suka dan minta foto bareng. Dari kiri ke kanan : Kim Jong Kwan , sutradara dari Korea yang nanti akhirnya jadi sahabatku. Vitric Thng, Sutradara dari Singapura yang aku udah kenal setahun yang lalu di AFA 2006. Staffnya Guljan, nggak tahu namanya. Guljan, Kurator Almaty Film Fest. Aku. Petek Vural, Sutradara dari Turki. Dan staffnya Guljan, aku nggak tahu namanya.

INDONESIA-KOREA

Ini di Opening Ceremony. Bendera Indonesia sebelahan dengan bendera Korea. Kebetulan aku duduknya sama Kim Jong Kwan, sutradara dari Korea, juga sebelahan. Kami cuma lirik-lirikan sambil senyum. Juga senyum Indonesia-korea.

RED CARPET

Pengalaman Red Carpet kedua setelah Pusan Int'l Film Festival tahun lalu. Tapi yang ini bener-bener bikin mrinding.Di pusan kemaren jalannya bareng2 dan disebutnya AFA 2006. Ini bener-bener sendirian, bawa bendera Indonesia dan semua histeris teriak-teriak gitu. Gimana ya caranya ngumpulin orang sebanyak gitu hanya untuk berdiri di sepanjang red carpet?

CATATAN ALMATY INTERNATIONAL FILM FESTIVAL 2007

Setelah terbang selama hampir tujuh jam dari Seoul akhirnya sampai juga saya di Almaty, Kazakhstan, pukul 10.02 malam waktu Almaty. Sebelumnya saya tidak pernah tahu tentang kota Almaty, baru tahu setelah mendapatkan undangan beberapa waktu lalu karena film “Harap tenang, Ada Ujian!” masuk sesi international competition di Almaty International Film Festival. Saya mulai tahu banyak tentang festival ini setelah masuk kamar hotel dan mendapatkan beberapa informasi dari katalog festival.

TENTANG FESTIVAL
Dahulu almaty adalah ibu kota dari Kazakhstan, tapi setelah tahun 1997 dipindah ke kota Astana. Walaupun sampai sekarang pusat aktifitas masih tetap saja di Almaty. Sedangkan Almaty International Film Festival merupakan event yang sudah menjadi tradisi sejak tahun 2003 untuk menghormati Shaken Aimanov, tokoh yang sangat penting untuk perfilman Kazakhstan, oleh karena itu setiap tahunnya tema festival ini adalah “Shaken’s Stars”. Pada waktu pertama kali penyelenggaraan di tahun 2003, Festival masih diselenggrakan secara independent. Kemudian di tahun kedua, 2004, Festival di dukung oleh Kantor Walikota Kota Almaty. Di tahun ke lima sampai sekarang Almaty International Film Festival sudah mempunyai status “International Contest of Young Film Producer”. Status itu sangat terlihat dari film-film yang diputar di setiap programnya dan sekitar 40 filmmaker yang diundang.

PROGRAM
Selain program international, ada beberapa program kompetisi yang sangat mencerminkan young filmmaker. Program “DEBUT” adalah program kompetisi untuk sutradara yang membuat film untuk pertama kali, baik short documentary, length documentary sampai short ataupun feature film. Kemudian program “STUDENT FILM” adalah program kompetisi untuk film-film yang dibuat di sekolah film, baik tugas semester maupun tugas akhir. Kemudian program “CINEMA OF YOUTH” adalah program kompetisi untuk film short documentary, length documentary, short fiction film dan feature film yang dibuat oleh sutradara muda. Harap Tenang, Ada Ujian! (HTAU) masuk di program kompetisi ini. Selain program kompetisi ada juga program film tamu. Untuk tahun ini program tersebut berisi film tribute untuk Asali Aisamov, Aktor Kazakhstan yang sudah berusia 70 tahun yang juga sekaligus presiden dari Festival ini, kemudian program film tamu dari Uzbekistan, Rusia, Kazakhstan, Afganistan dan Jerman. Dan juga program special seperti Master Class dan Seminar.

OPENING NIGHT
Festival dibuka dengan sangat meriah. Seperti tidak masuk akal saat melihat red carpet opening night yang dipadati sekitar 5000 masyarakat Almaty. Semua tamu berjalan menuju podium dengan membawa bendera masing-masing negara yang telah disiapkan sebelumnya. Masrakat Almaty yang berada dipinggir red carpet itu tak henti-hentinya berteriak histeris ketika para tamu tersebut disebut namanya. Para tamu yang semuanya film maker muda ini jelas menjadikan pengalaman ini sebagai pengalaman red karpet untuk yang pertama kalinya. Semua merasa terheran-heran bagaimana bisa orang berkumpul di sepanjang karpet merah itu padahal tidak ada selebritis yang melewatinya.
Setelah itu gedung yang berkapasitas 3000 penonton itu penuh sesak. Mereka menikmati ceremonial pembukaan dengan sangat khidmat mulai dari sambutan sampai tarian. Tetapi acara malam itu buat tamu festival yang rata-rata berasal dari luar Kazakhstan menjadi anti klimak, film “Bear Hunting” yang dipilih menjadi film pembuka tetap saja cuek diputar tanpa english subtitle. Dan sebagai film pembuka materinya juga tidak menarik. Kelebihan film ini hanya dibikin dan dibintangi oleh salah satu aktor rusia yang sangat terkenal, Valery Nikolaev . Selebihnya film ini hanya film sebagai pengantar tidur yang panjang karena durasinya yang lebih dari 2 jam dengan adegan yang membosankan. Film ini ditunggu-tunggu karena Valerie dalam perjalanan kariernya sebagai aktor pernah bermain di film “The Terminal” yang disutradarai oleh Steven Spielberg. Semua tamu saya liat tidur dengan pulasnya, mudah2an bukan karena opening film iitu, tapi karena terlalu capek perjalanan di pesawat.

FILM
Tidak mudah mengikuti semua film yang diputar selama festival. Karena jadwal tamu festival yang ketat dan lebih mengutamakan acara hospitality. Saya lihat di katalog ada beberapa film yang wajib tonton, tetapi sama sekali tidak ada waktu untuk menontonnya. Film yang saya tonton hanya film yang dihadiri oleh sutradaranya yang menjadi tamu festival.

Father (Rusia/Ivan Solovov/82min/2007)

Pada awalnya saya sudah sangat pesimis dengan film ini. Hal yang petama karena masih sangat shock dengan film pembuka. Yang kedua karena yang saya harapkan adalah “Father and Son” karya sutradara Alexander Sokurov, yang juga berasal dari Rusia. Karena Sokurov sangat terkenal dengan filmnya “Father and Son” dan “Mother and Son” yang sangat sulit mendapatkan dvd-nya di Indonesia. Begitu tahu bukan “Father and Son” karya Surokov yang diputar, saya langsung pasang posisi untuk tidur dan berpesan kepada Jong Kwan (seorang teman sutradara dari Korea) untuk menyentuh tangan saya jika tidur saya sudah mulai bersuara. Tapi shot pertama dari film ini membuat saya kembali mengambil posisi duduk sempurna. Lima menit pertama sudah berhasil membuat mata saya melebar. Sebuah cerita yang sangat sederhana tentang hubungan Ayah dan keluarganya. Cerita dengan setting tahun 1930an ketika Rusia berhasil menaklukkan Jerman dan perang telah usai. Seorang Ayah yang pergi meninggalkan Istri dan dua anaknya selama 15 tahun untuk berperang ingin kembali ke keluarganya. Bagaimana keadaan emosional keluarga itu setelah tidak bertemu ayahnya selama 15 tahun, itu lah yang diceritakan oleh Solovov yang juga hadir di sore itu. Yang jelas, saya menjadi ingat film apa yang berhasil membuat saya menangis setelah Finding Nemo, Father, karya Ivan Sulovov.
Yang membuat saya kecewa dengan pemutaran ini adalah suasana festival yang sangat tidak international. Sutradara dan audience dengan cuek saling berdialog dengan bahasa Kazakhstan maupun Rusia. Sedangkan Botagoz, penerjemah saya, menghilang entah kemana.

Milk and Chocolate (Turkey/Senen Tusem/28min/2007)

Film ini merupakan film tugas akhir dari Senen Tusem yang sekolah di University of Fine Arts Istambul. Saya tahu itu karena sahabatnya berada di sebelah saya saat menonton, Petek Vural, tamu dari turkey yang setelah film ini filmnya juga akan saya tonton. Pada saat yang sama, di studio sebelah diputar film “The Eyes of Ariana” karya Ricardo, tamu dari spanyol. Saya minta maaf kepada Ricardo karena lebih memilih menonton film pendek Petek dengan alasan saya sedang tidak mood nonton film dokumenter, dan untung Ricardo bisa menerima itu.
“Milk and Chocolate” bukan film yang jelek untuk sebuah film tugas akhir. Dan saya tidak begitu tahu apakah Senem Tusem menjadi sangat istimewa atau malah terlihat maruk saat film ini ditulis, disutradarai, dikamerani dan diedit oleh dia sendiri. Sebagai ide untuk film pendek tidak begitu menarik, hanya saja sampai film selesai saya tidak bisa bilang film ini jelek, walaupun saya tidak suka.
Ada hal yang lebih membuat saya shock dan tidak bisa fokus mengikuti cerita film ini. Ternyata setiap pemutaran film yang tidak menggunakan bahasa Kazakhstan atau Rusia, ada seseorang yang bertugas di sebelah proyektor untuk membuat film ini menjadi bilingual. Seorang panitia dengan mic menerjemahkan english subtitle menjadi bahasa Kazakh. Saya sangat shok melihat kejadian ini, semua film sebagus apapun akan menjadi tidak ada emosinya menurut saya. Saya pernah melihat di Pusan International Film Festival yang menambahkan subtitle korea di kanan frame dengan power point, bagi saya itu tidak menganggu. Tapi pengalaman di almaty membuat saya menyadarai bahwa perlakuan sebuah film di setiap negara itu berbeda. Bahkan begitu film selesai, operator langsung menstop tanpa menunggu kredit title selesai. Saya hanya terduduk lemas menyaksikan semua itu.

The Last Tango (Turkey/Petek Vural/27min/2007)

Sesuatu yang paling membuat tidak nyaman terjadi di film ini, menonton film jelek disebelah sutradaranya. Secara tekhnis film ini sangat kurang untuk sebuah film tugas akhir. Beberapa penonton bahkan menertawakan adegannya, cerita juga bukan ide yang baru. Untuk mengikuti film ini selama 27 menit saja sudah pekerjaan yang berat, apalagi berada di sebelah sutradaranya. Setelah film ini selesai saya cuma menyalami Petek dan bilang tentang masalah “bilingual” yang mebuat filnya jadi nggak ada emosinya. Saya langsung keluar dari bioskop tanpa menunggu 2 film pendek lagi dari afganistan. Tapi bagaimanapun juga, saya tetap berada di pihak Petek, saling mensupport satu sama lain untuk membuat film yang lebih bagus lagi. Dan saya benar-benar nggak terima saat panitia tidak memberi kesempatan Petek untuk bicara sebelum fimnya diputar, mereka benar-benar nggak peduli dengan tekhnis pemutaran.

The Happy Man (Spain/Lucina Gill/14min/2007)
Sore harinya saya menonton Program Film Spanyol, yang juga masuk sesi kompetisi “cinema of youth”. Satu film dokumenter pendek dan lima film fiksi pendek. Keenam film tersebuat adalah kompilasi project film pendek yang dibiayai oleh pemerintah kota Madrid. Semuanya ada sepuluh film dan ada enam film yang diputar di festival ini. Sebelum film diputar, Lino, Sutradara dari Spanyol yang salah satu filmnya diputar maju dan memaksa untuk bicara. Saya sangat suka dengan keputusan Lino untuk mengambil mic yang ada di depan dan langsung bicara.
“The Happy Man” adalah sebuah film documenter pendek yang sangat menarik. Idenya cukup simpel. Di awal adegan kita melihat orang tua dalam sebuah wawancara yang mengatakan bahwa dia sangat bahagia, tidak ada masalah di hidupnya. Setelah itu adegan berpindah ke sebuah ruangan lain, tiga orang sedang menonton televisi yang menyiarkan wawancara orang tua tadi. Dan setelah televisi dimatikan, ketiganya sepakat bahwa orang tua itu tidak bahagia dan mereka mulai melacaknya. Ke showroom mobil, ke perusahaan asuransi, ke rumah sakit ke semua tempat yang disebutkan orang tua tadi, hanya untuk mengetahui apa yang membuat orang tua itu bahagia atau apa yang membuat orang tua itu bohong kalo sebenarnya dirinya tidak pernah bahagia.
Yang terpenting dari film ini adalah saya udah mulai terbiasa dengan bilingual ngawur yang dilakukan di festival ini, walaupun film ini sempet diputar ulang tiga kali karena suara yang tidak keluar.

Our Daily Bread (Spain/Aitor Merino/19min/2007)

Untuk Lima film berikutnya mulai dari film ini, saya sudah agak deg-degan menontonnya. Karena kelima film itu adalah sama-sama nominasi di kompetisi “cinema of youth” short feature. Menonton Our Daily Bread sangat biasa, hampir nggak ada perasaan apapaun. Karena 15 menit pertama saya belum begitu jelas film ini akan ngomongin apa, tapi terjawab di empat menit terakhir dengan sangat bagus. Ternyata sebuah film yang berbicara tentang human traficking di pinggiran Spanyol.

What Elena Wants? (Spain/Lino Escalera/19min/2007)

Film ini mempunyai gambar yang sangat luar biasa. Saya seperti melihat sebuah film pendek dengan cinematografer ala Christoper Doyle. Benar-benar terlihat sangat profesional. Ceritanya juga menarik, tentang seorang perempuan spanyol setengah baya yang tidak menikah dan mulai berpikir untuk punya anak. Lino mengemas cerita itu dengan sangat berat, dengan ping-pong dialog yang lambat dan berat. Dengan kemasan adegan yang seperti itu penonton benar-benar ingin tahu apa yang elena inginkan. Film ini sangat berhasil menurut saya.

Baggage Claim (Spain/Toni Bestard/10min/2007)
Film pendek yang sangat menarik dan cerdas. Lokasinya hanya di baggage claim sebuah bandara. Semua tas sudah terambil dan hanya tinggal dua orang disitu, seorang laki-laki dan perempuan. Mereka menunggu barang mereka dan mulai berdialog. Di sela-sela dialog mereka selalu lewat sebuah anjing di dalam kandang di baggage claim tersebut. Mereka terus berdialog sampai akhirnya mereka taruhan siapa yang barangnya datang duluan. Setelah sepakat, kedua tokoh itu dan penonton sudah terlihat tegang menunggu barang siapa yang datang duluan. Setelah beberapa detik, sebuah koper biru muncul. Laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan, perempuan juga melakukan hal yang sama. Penonton masih tidak bisa tahu siapa pemilik koper biru itu. Koper biru melewati perempuan itu begitu saja, dan laki-laki itu menangkap koper biru dengan bangga. Di saat yang hampir sama, perempuan itu mengambil kandang anjing itu dan segera mencium anjing kesayangannya. Hanya tinggal perempuan itu yang tertawa dengan kemenangan, wajah laki-laki sudah terlihat begitu sangat bodoh.
Menonton film ini membuat saya yakin bahwa dua film spanyol yang akan saya tonton pasti lebih bagus. Di sesi ini saya membuang jauh-jauh impian saya untuk menang.

Game Therapy (Spain/Leon Siminiani/14min/2007)
Film ini benar-benar luar biasa. Saya bahkan tidak mampu menggambarkan secara naratif di tulisan ini. Dengan cara bertutur komedi, film ini dengan jelas menggambarkan kehidupan pasangan muda yang hidup di Flat Spanyol. Suami Istri, tetangga yang hanya terpisahkan jalan, belum mempunyai anak. Sebuah film cerdas yang bisa ditiru penghuni apartemen, rumah susun ataupun flat untuk melakukan sebuah teraphy dalam bentuk game yang menantang.

Salvador (Spain/Abdelatif Hwidar/11min/2007)

Ini film Spanyol yang terakhir di sesi ini. Benar-benar sempurna untuk di jadikan film penutup. Saya sangat suka dengan film ini. Hampir mirip dengan “Harap Tenang, Ada ujian!” Sebuah cerita fiktif yang diangkat berdasarkan kejadian nyata. Berdasarkan peristiwa pengeboman sebuah kereta api di Spayol, semua penumpang di satu gerbong meninggal kecuali seorang anak kecil bernama Salvador. Abdelatif Hwidar (sutradara Salvador), yang dari Lino saya tahu bahwa dia keturunan Maroco dan muslim menggambarkan seorang muslim yang berada di balik peristiwa itu. Saya sendiri sebagai seorang muslim sangat tidak terganggu dengan film itu, karena film itu benar-benar memiliki cara bertutur yang indah.

Drenched in the Rain (India/Anjan Das/126 min)
Saya telat 45 menit menonton film ini. Dan tertidur setelah 15 menit menonton dan dvd diganti karena gambar terlihat putus-putus. Tapi pengalaman saya selama 15 menit menonton, film ini benar-benar terlihat film independennya india, durasi tidak sampai 3 jam, tidak ada nyanyian dan tarian. Anjan Das bilang ke saya, sangat sulit untuk mendapatkan uang untuk bikin film kalo di film itu nggak ada nyanyian dan tarian. Salut buat Anjan Das yang katanya telah menyiapkan scriptnya selama 11 tahun. Tapi tidak cukup bagus buat saya.

T-Shirt (Slovakia/Hossein Martin Fazeli/11min/2006)

Film ini merupakan film pertama sebelum sesi film saya diputar bersama film dari singapura dan Korea. Kebetulan di sesi ini, hanya sutradara film ini yang tidak hadir. Film yang sangat sangat sangat bagus. Benar-benar sebuah konsep film pendek. Bercerita tentang seorang Slovakia-amerika yang dalam perjalanannya ke Amerika mampir ke sebuah minimarket. Si pelayan di mini market itu mengenakan sebuah kaos dan jaket yang tidak dikancingkan di luarnya. Di kaos itu terlihat tulisan ”God is……”. Si pembeli berkomentar tentang kaos itu setelah jaket si pelayan tersingkap dan ternyata tulisannya “God is…Dead, by Nietze”. Terjadi selisih pendapat tentang Tuhan, Nietze, Slovakia, Amerika bahkan sampai si pembeli merasa pelayan menyamakan adiknya yang baru saja mati dengan babi. Keudanya bersitegang sampai si pembeli mengeluarkan pistol. Beberapa saat kemudian ada seorang pembeli yang masuk. Pistol di arahkan ke pembeli yang baru saja masuk dan si pelayan mengambil kesempatan itu untuk memukul pistol dengan stik bisbolnya. Si pembeli yang membawa pistol di pukul hingga pingsan, dan si pembeli baru keluar begitu saja. Setelah menelpon polisi, si pelayan toko melepas jaketnya dan keluar dari tokonya dengan santai. Tampak tulisan di kaosnya bagian belakang “Nietze is…dead, by God”.

Waiting (Korea/Kim Jong Kwan/22min/2007)

Waiting merupakan salah satu short film dari Omnibus Project Jeonju International Film Festival (Omnibus project adalah film panjang yang merupakan rangkaian dari beberapa film pendek). Saya tahu banyak tentang film ini setelah sebelumnya berada dalam satu pesawat selama menuju Almaty dari Seoul. Dan kemudian saya berteman akkrab dengan Kim Jong Kwan, seorang sutradara dari Seoul. Waiting bukan film terbaiknya Jong Kwan. Karena setelah saya sampai Almaty saya melihat hampir semua film pendek Jong Kwan yang berjumlah 14 film. (Saya tidak di jinkan menonton 1 film pendeknya Jong Kwan). Dan waiting juga tidak begitu jelas berbicara tentang apa, karena mungkin untuk menikmati waiting harus melihat 2 film lainnya di Omnibus Project Jeonju Intl Film Fest. Yang jelas saya masih terbayang-bayang bagusnya film “How to operate a polaroid camera”, film pendek Jong Kwan yang lain yang hanya berdurasi 7 menit. Melihat 14 film pendek Jong Kwan dan melihat Waiting saya benar-benar merasa sangat mengenal Jong kwan, film-filmnya sangat personal. Dia benar-benar membebaskan pemainnya untuk bermain dan dengan kamera dia perusaha mengambil emosi dari pemain itu.

Be Quiet Exam is in Progress! (Indonesia/Ifa Isfansyah/15min/2006)

Pengalaman kedua saya menemani film saya sendiri di luar Indonesia. Sambutan masih sama seperti pemutaran-pemutaran HTAU yang lain. Sangat meriah, semua tertawa dan di akhiri dengan tepuk tangan, dan beramai-ramai semua menuduh saya sebagai sutradara yang cerdas. Tapi yang terpenting buat saya adalah saya bisa menunjukkan fillm Indonesia kepada mereka, karena sebelumnya mereka sangat tidak mengerti indonesia dan belum pernah menonton film indonesia.

Closer Apart (Singapura/Vitric Thng/14min/2005)
Saya sudah mengenal Vitric sejak setahun yang lalu. Dan hampir semua filmnya Vitric sudah saya lihat. Berbeda dengan Jong Kwan, melihat salah satu filmnya Vitric belum tentu bisa merasa mengenal Vitric. Paling tidak menurut saya ada 3 film vitric yang bisa mewakili karya-karya Vitric. Sejak dulu saya salut karena Vitric adalah salah satu sutradara film Singapura yang tidak bermain aman. Vitric benar-benar berani memainkan filmnya di daerah-daerah rawan dengan cara bertutur dan ceritanya, benar-benar tidak main save. Salut untuk Vitric yang sangat berani dan tegas dalam setiap membuat film. Dan “Closer Apart” menurut saya bukan film pentingnya Vitric.

AWARD

Akhirnya malam penutupan pun tiba. Tidak ada film penutup. Hanya sambutan, nyanyian dan tarian. Seperti penyelenggaraan selama festival. Acara closing ini juga sangat tidak international. Sehingga saya tahu pemenang-pemenangnya tetapi saya tidak tahu mereka menang apa.
Ada beberapa penghargaan special dari pemerintahan Kazakhstan ataupun dari perfilman kazakhstan sebelum penghargaan untuk nominator film kompetisi. “The Eyes oh Asyiria” karya Ricardo mendapatkan penghargaan, entah dari siapa. “Drenched in the Rain” karya Anjan Das juga mendapatkan penghargaan, entah dari siapa juga, karena Botagoz, penerjemahccsaya, tidak bekerja dengan baik. Mungkin penghargaan dari asosiasi film di kazakhstan.
Film pembuka yang saya tinggal tidur juga diberi piala gede banget. Trus film Petek Vural yang saya bilang gak bagus itu juga dapet special mention dari jury. Film pendek fiksi terbaik untuk Cinema of Youth film pendek dari Slovakia itu, T-Shirt. Dan beberapa penghargaan untuk film Kazakhstan.

HOSPITALITY

Pelayanan untuk para tamu di festival ini benar-benar patut diacungi 10 jempol. Walaupun itru justru malah menyita waktu tamu untuk menikmati pemutaran film. Hal itu jika dilihat dari makanan yang diberikan kepada para tamu. Saya kurang beruntung karena siang hari saya harus menjalankan puasa. Mungkin dalam sekali makan tiap orang tamu bisa menghabiskan 6000 tenge, atau setara dengan 500.000 rupiah. Mereka benar-benar menjamu tamunya dengan luar biasa. Apalagi setiap malam ada saja acara untuk para tamu. Acaranya tidak begitu menarik, hanya tari-tarian, nyanyian, sambutan-sambutan, tapi menu makan malamnya gila-gilaan.
Dan juga beberapa perjalanan wissata di dua hari pertama festival. Walaupun LO-nya bisa dikatakan cenderung galak saat mengatur tamu, tapi hal itu membuat tamu benar-benar menjadi disiplin dan menjalani semua jadwal yang telah ditetapkan. Dan juga LO tidak mengetahui sama sekali tentang program festival, yang ada di pikiran mereka hanyalah menjamu tamu sebaik mungkin. Hal itu yang sangat mengganggu apabila tamu ingin menanyakan sesuatu tentang festival ini.

CATATAN
Yang membuat festival film ini kurang menarik adalah tidak adanya dressing di setiap venue. Dan juga suasana festival yang sangat tidak international. Dan secara tekhnis membuat film menjadi bilingual adalah tekhnis yang sangat mengganggu. Festival ini benar-benar dikerjakan secara profesional di masing2 divisinya, sehingga masih-masih divisi bisa saling tidak mengenal. Semua dikerjakan oleh seorang profesional. Publicist festival ini di pegang oleh asosiasi pers di Almaty. LO dipegang oleh salah satu perjalanan wisata internasional. Dan hampir semua dipegang oleh profesional yang tidak saling berhubungan satu sama alain. Di lain sisi festival ini menjadi sangat profesional, tapi di sisi lain, atmosfer festival film sangat tidak terasa di kota ini.
Mungkin itu beberapa catatan yang saya buat selama di Almaty. Hal yang paling penting adalah bertemu dengan tamu lain, saling berdiskusi tentang film di negara masing-masing. Karena yang saya tahu itu yang menjadi tujuan festival ini mengundang banyak sekali tamu internasional.

12 September 2007

PAMIT

Aku akan meninggalkan Busan dalam 10 hari ke depan. Dan berarti 10 hari pertama puasaku justru tidak aku lalui di Kota ini. Mungkin sama saja, karena aku pergi dari Korea tidak untuk kembali ke kotaku. Bahkan pergi ke sebuah negara yang aku bahkan tidak tahu seperti apa kondisinya. Beberapa hari yang lalu aku akhirnya tahu bahwa Almaty adalah ibukota dari Kazakhstan. Bahkan aku belum pernah mendengar sebelumnya acara yang mengundangku, Almaty International Film Festival. Setelah semuanya selesai, termasuk packing beberapa pakaian yang separuh masih berssih dan separuhnya lagi belum sempet kucuci, aku merasakan ada yang kurang. Pamit, aku merasa selalu ada yang aku pamitin selama ini kalo aku pergi. Akhirnya aku putuskan untuk kembali membongkar tasku, aku aku ambil dan nyalakan laptop, lalu aku ketikkan tulisan ini, sekedar untuk pamit. Aku berangkat dulu, mudah-mudahan ada sesuatu yang baik disana.

08 September 2007

TRIBUTE TO NADIA-IRWAN

Aku bahkan sebelumya tidak pernah membayangkan aku tidak akan bisa hadir di acara pernikahanmu. Aku pikir aku akan meluangkan waktu sesibuk-sibuknya aku. Aku pikir aku akan menyempatkan hadir sejauh-jauhnya aku. Tapi hari ini benar-benar terjadi. Aku memang masih sahabatmu yang selalu mengatakan jarak tidak akan pernah menjadi masalah. Hari ini aku telah belajar satu hal lagi tentang jarak, yang akhirnya menjadi masalah. Selamat.

HARI SABTU YANG MENCUCI

Setelah gagal bermain basket karena telat bangun pagi, Sabtu siang ini akhirnya kuputuskan untuk mencuci. Aku pikir hari Sabtu disini menjadi hari yang paling bertanggung jawab untuk urusan rumah tangga. Dari rencana hanya mencuci dua potong pakaian, berkembang menjadi semua pakaianku. Dari pakaian yang memang kotor sampai beberapa pakaian yang kotor karena kopi yang pecah di tas saat perjalanan di pesawat minggu lalu.

Banyak pemeran pengganti di program Sabtu ini. Wastafel menggantikan ember, tempat tidur menggantikan tali jemuran, sampai AC menggantikan sinar matahari. Program dibagi menjadi beberapa part saat wastafel hanya bisa menampung maksimal empat potong pakaian. Beberapa artist ibu kota maupun manca negara sempat menjadi bintang tamu, dari Sheila on 7, Kings of Convenience, Lily Allen sampai Basiyo. Dan aku pikir program Sabtu ini menjadi sukses karena Sebastian pamit berangkat ke Seoul sampai hari minggu malam. Mmh..dia tidak tahu kalo di kamarnya akan ada "wash party". Di rak bukunya aku gantung beberapa celana dalam warna-warni, di atas tempat tidurnya aku tempatkan celana panjangku, dan di pintu lemari pakaiannya aku gantungkan beberapa kaosku. Aku pikir kamarku menjadi sedikit lebih artistik.

Menjelang sore program sabtu ini baru selesai. Di susul dengan beberapa program lain yang membuat Sabtu ini lebih bertanggung jawab. Setelah mandi dan badan terasa segar, Nam sudah berdiri di depan pintu dengan bola basketnya. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun, tapi terlihat dengan jelas ekspresi takjubnya melihat hasil programku di hari Sabtu, pasti sangat artistik untuk ukuran sinematografer seperti dia. Aku hanya menarik tangannya menuju lapangan basket sambil minta tolong semoga cucianku sudah mengering sebelum Minggu malam besok.

06 September 2007

HI IPHA!!

Sore ini sebenarnya tidak cukup cerah di Busan. Tapi aku memutuskan untuk jalan-jalan setelah seharian sibuk mencuci pakaian. Begitu keluar dari International House, tempat tinggalku, aku melihat beberapa rombongan anak muda pulang kuliah dan langsung menengok ke arahku. Salah satu dari mereka berteriak, "Hii..Iphaaa!!". Aku sangat kaget, baru kali ini aku merasa bukan seorang alien. Semuanya ikut menyapa dan seperti sudah kenal dekat. Aku langsung berlari menghampiri mereka. Dan kami terlihat cukup akrab walaupun tidak jelas memakai bahasa apa.

Kemudian aku meninggalkan mereka melanjutkan perjalanan. Dari kampus kemudian turun ke kampus sebelah, KIT (Keomyeong Information and Tekhnologi). Sempat duduk melihat anak-anak bermain basket, sempat juga hampir tertabrak mobil karena aku justru menoleh ke kanan waktu mau menyebrang jalan. Nekad juga masuk kantor pos untuk menanyakan berapa biaya kirim ke Indonesia, hanya di jawab 500-800. Aku nggak tahu maksudnya apa, kalo won jelas nggak mungkin, kalo dolar juga lebih nggak mungkin. Komunikasiku yang pertama di Korea gagal. Kemudian aku turun lagi melewati kampus satunya, Chapel University, dan turun ke NaengJong Street. Aku jalan terus menikmati suasana mendung dengan angin yang sangat tidak bersahabat. Aku pikir aku sudah terlalu jauh. Karena aku hanya menggunakan celana pendek, kaos oblong dan kamus kecil di tanganku sambil sesekali belajar.

Jam tanganku sudah menunjukan pukul 18.00. Sudah 2,5 jam aku berjalan naik turun. Aku memutuskan untuk pulang dan pasti akan sangat melelahkan karena aku masih harus naik bukit menuju tempat aku tinggal. Setelah memasukan koin dan mendapatkan minuman soda yang dingin, aku melanjutkan perjalanan. Akhirnya aku sampai juga di depan tempat aku tinggal. Baru akan masuk, seseorang menyapaku kembali "Hii..Iphaa!!" Aku menoleh dan sangat kaget. Ternyata masih orang yang sama dengan rombongan yang sama. Sudah 3 jam aku berjalan. Ada apa dengan mereka, tepat melewati tempat aku tinggal di saat aku pulang. Aneh. Aku bahkan tidak mengenal dan merasa pernah bertemu mereka. Mungkin ini efek dari Prof. Son mengenalkan aku di kelasnya kemaren sore. Atau..mmhhh..ah, entahlah.

05 September 2007

CRAZY CAKE

Sudah dua hari ini aku menghabiskan malam di kamar Nam. Untuk sekedar nyicil belajar bahasa Korea atau mengekplorasi menu makan malam. Bahkan undangan Opening Night "China Film Festival in Pusan 2007" di CGV (salah satu bioskop besar di Korea) sore ini kita biarkan begitu saja tergeletak di meja demi eksplorasi malam ini. Nam terlihat sangat ahli mencampur tepung dengan telur, sambil sesekali meneriakkan soal ujian kepadaku.
"Library?"
"Do So Kwan!" Jawabku.
Dia tidak mau kalah, "Office?"
"Sa Mo Sil!"
Begitu seterusnya sampai adonan tepungnya terlihat halus dan aku hanya lupa 2 soal dari 20 soal ujiannya. Ia mulai berimprovisasi. Masalah pertama terjadi saat aku suka manis dan Nam suka pedas. Tanpa kompromi ia memasukan gula dan merica di dalam adonan itu untuk mengakomodir keinginan kami.
Ia mengeluarkan panggangan roti dan memasukan adonan roti begitu saja. Aku mulai bingung, dia memang sedang ngawur atau memang begini cara orang Vietnam membuat roti. Roti sudah matang, akhirnya jadi 16 biji. Bahkan aku pun ragu-ragu memakannya. Kemudian kita mulai menikmatinya satu demi satu. Mmmhh..aku bersyukur..manis, tidak berasa mrica sedikitpun. Dan setiap gigitan, kita selalu tertawa. Jumlah tawa dan jumlah gigitan roti benar-benar berbanding lurus.
"Let's call this..CRAZY CAKE!"
"No..Vietnamese Crazy Cake!!"
"No way..Indonesian Crazy Cake!"
Tidak ada kesepakatan Indonesia atau Vietnam yang crazy. Yang jelas dua orang mahasiswa asing dari jurusan Sinematografi dan Penyutradaraan Dongseo University telah berkolaborasi, dan tidak untuk membuat film. Kita mengawali dengan sebuah roti, Crazy Cake!

JOGJA (NEVER) ENDING ASIA!

Hari ini akhirnya aku berhasil membuat janji untuk bertemu Prof. Nam In Young dan Prof. Son. Dua profesor Dongseo University yang sangat aku hormati sejak mulai kenal dengannya setahun yang lalu. Mungkin satu jam ngobrol-ngobrol di ruangan Prof. Son, tentang film pendek, tentang festival film, tentang peralatan Dongseo yang katanya bebas aku gunakan. Prof. Son mempunyai ide untuk memperkenalkan aku di kelasnya. Sebuah ide yang bagus. Jam 16.00, di Brainstorming Room 228.

Pukul 16.00 tepat aku masuki ruangan itu. mungkin 20 orang yang mengikuti kelas Sound ini, anak-anak semester 3. Aku mulai bercerita dengan broken inggrisku.

"Hello everybody, my name is Ifa!"
"Iba!"
"No, Ifa!"
"Oh..Ipha!"
"No man..Ifa!"
"Ipa!"

Oke, aku menyerah setelah aku ingat nggak ada huruf "F" di Hanggul mereka. Toh sama saja, mereka juga akan menuliskan namaku Ipha. Sedikit tidak terima, but that's ok!

"I'm from Jogjakarta!"
"Cukca..."
"No..Jogja!"
"Chukcha!"
"Repeat after me..Jogja!!"
"Chokcha!"

Oke lagi, sama saja. Mereka juga akan menulis Chokcha.

"You Know jogja?"
"Noooo!"

Kali ini mereka kompak menggeleng sambil tertawa. Kemudian aku melanjutkan cerita dengan broken Inggrisku. Tentang Film Indonesia, tentang Film di Jogja, tentang fourcolours. Tidak sampai 10 menit, aku sudah keluar dari ruangan itu.

Aku berfikir jauh ke depan. Aku masih punya banyak waktu untuk membuat mereka tahu dan hafal namaku. Tapi aku seperti sudah tidak mampu untuk membuat mereka mampu menghafal nama kotaku, setelah dua minggu yang lalu aku masih melihat amplop surat keberangkatanku tergeletak penuh debu di sebuah meja kantor Gubernur kotaku.

04 September 2007

PUSAN BANK

Harusnya jadwal pagi ini ke perpustakaan jam 10.00. Karena semalem baru tidur habis subuh bangunnya telat banget, jam 11.00. Dan itupun Nam sudah nuggu di depan pintu ngajak ke perpus. Berdua ke perpus, naik turun bukit di kampus, sampai juga di sebuah gedung yang sangat besar. Semuanya disini otomatis, begitu mau masuk harus nempel semacam kartu yang aku belum punya dan Nam juga nggak bawa. Nam bilang, untuk bikin kartu itu butuh alien card..ya ampuun..alien card lagi. Benar-benar jadi alien disini. Nam minta maaf karena itu gedung baru dan dia nggak tahu peraturannya.

Oke, perjalanan mengarah ke Nonghyup Bank karena kemaren atm-nya Nam nggak bisa keluar dari mesin karena eror..hehe..kalo ini kayak Indonesia. Setelah naik bisa kampus ke bawah, prosesnya sangat cepat dan atm langsung kembali ke tangan Nam. Kemudian Nam bermaksud menukar Won ke Yen karena dia kemaren pinjam uang dari teman Jepangnya. Nonghyup tidak terima tukar uang dan perjalanan berlanjut ke bank sebelah, Pusan Bank.

Aku menunggu Nam yang lagi asyik menghitung Yen sambil membaca majalah mode yang tergeletak di kursi tunggu. Nam selesai dan aku teringat sesuatu. Aku hampiri nam.

"Nam, can you ask for me about Indonesian rupiah currency?"

Nam kemudian bertanya dengan broken koreanya ke mbak yang jaga. Dan dengan cepat mbak yang jaga itu menatapku sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya :

"NO INDONESIAN RUPIAH!"

Aku hanya berbalik arah dan Nam segera mengejar dan merangkulku, dan berkata :

"We're alien, but that's ok!"

03 September 2007

SEBASTIAN vs IFA

Sebastian Wendler. Aku membaca nama itu pertama kali di kolom nomor 709, persis dibawah namaku. Mmh..rupanya nama itu yang akan selalu menemaniku dan memberi arti "rumah" disini. 2 X 24 jam sudah terlewati.

Mari kita pelajari bersama kasus dibawah ini :

SEBASTIAN WENDLER
1. Germany
2. Berlin
3. Scientist
4. Putih
5. Keriting Pirang
6. Kurus
7. Hewlett Packard
8. Windows XP
9. New Balance
10. Mie Instan
11. Alcohol
12. Tag Hueuer
13. Bvlgary
14. Nivea for men

IFA ISFANSYAH
1. Indonesia
2. Jogjakarta
3. Filmmaker
4. Hitam
5. Lurus beruban
6. Gemuk
7. iBook G4
8. Mac OS X
9. Reebok
10. Nasi
11. Cafein
12. Swiss Army
13. Giorgio Armani
14. Rexona for men

To be continued, research still in progress..

KAMAR

Aku jadi inget waktu dulu sering banget liat film-film Korea. Kemaren kaget banget pas pertama kali masuk kamar..mmhh..kecil banget. Satu jam, dua jam..menjadi biasa dan ternyata nggak terlalu kecil juga. Kamar ini malah jadi memberi aku lebih tahu apa itu arti penyesuaian. Jadi inget "memories of bali" yang sempet sukses di indosiar, dan kadang nemu di jl mataram dengan judul "something happen in bali", kamarnya ha ji won kan juga kecil, kecil banget malah. Dan aku yang selalu protes kenapa art directornya bikin lokasi kecil-kecil, kan kasian DOP-nya..hehehe..ternyata aku tahu sekarang, apalagi setelah beberapa hari tinggal di kamar ini, seorang temanku meminjamkan sebuah rice cooker yang juga sangat kecil dan aku sempat melirik sebuah tulisan disana.."a beauty begins with small thing".

02 September 2007

BUSAN HARI PERTAMA

Tidak banyak yang berubah dari Busan tahun kemaren.
Gimhae masih tetap saja sama,hanya saja rintik hujan terlihat
saat pintu airport itu tiba-tiba saja terbuka secara otomatis.
Jalanan aspal itu juga masih saja basah, seperti kedua mataku.
Kali ini Busan lebih dingin daripada September tahun kemaren.
Kurapatkan sweaterku sambil terus berusaha menyembunyikan mataku.

Bis yang aku tumpangi menusuri gari-garis jalan korea selatan.
Terus melaju..dan terus.
Tidak pernah sekalipun terlihat mundur ataupun berbalik arah.
Busan memang indah;
tapi tidak seindah mimpiku yang ingin kuraih di kotaku.